Selasa, 26 Desember 2017

Dear Diary...

Dear diary,
Akhirnya setelah hampir 2 tahun putus dan tidak bertemu dengannya, kini kita dipertemukan kembali dalam sebuah acara tak terduga.
Aku mengikuti pelatihan EO di Trawas, Mojokerto. Dan disanalah aku bertemu dengan dia. Dia disini bukan sebagai peserta sepertiku, tapi sebagai panitia pelaksana. Kau tau apa yang aku rasakan ketika dia berdiri di depan dan memberi materi pelatihan kepada para peserta? Deg. Dan tiba-tiba saat itu semua kenangan kita dahulu hadir kembali, semuanya berputar-putar di kepalaku.
Aku tidak yakin dia tau kalau aku ada dalam pelatihan itu, mungkin jikalau dia melihat daftar nama peserta yang jumlahnya sekitar 120 orang, dia tidak akan menyangka bahwa nama ALANA ALTHAFUNISA adalah aku. Mungkin dia akan mengira itu adalah nama orang lain yang kebetulan mirip dengan namaku.
Dear diary,
Sejak hari aku melihatnya sebagai pemateri waktu itu, jujur aku sering memikirkannya. Entah aku ingin 1 bulan disini berjalan dengan cepat atau malah sebaliknya. Feelingku masih mengatakan bahwa dia belum tau kalau aku ada disini, atau dia tau tapi cuek saja denganku? Ah, sepertinya yang pertama.
Satu hal yang aku suka dari dia sejak dulu, dan aku menikmatinya lagi hari-hari ini, aku suka mendengar dia terbahak. Entah kenapa aku selalu ikut tersenyum dan ikut bahagia setiap mendengar dia terbahak. Meskipun aku tidak tau bagaimana keadaannya paska kita putus, tapi setidaknya ketika mendengar dia terbahak aku yakin dia sedang bahagia.
Dear diary,
Hari ini minggu kedua aku mengikuti pelatihan ini. Tapi belum ada yang berubah. Sepertinya dia benar-benar tidak tau kalau aku ada disini. Mungkin itu lebih baik. Daripada kalau dia melihatku, move on yang sudah dia jalani akan kembali terguncang. Biarlah, biar aku saja yang hatinya berantakan setelah mengetahui dia ada disini. Karena, aku lebih pandai berpura-pura dan menutupi perasaan ini, kan?
Sebenarnya, jika dia mengenaliku, jika dia menyapaku, ada banyak sekali pertanyaan yang ingin ku ajukan padanya—jika aku berani. Bagaimana kabarnya? Bagaimana kabar orang tuanya? Apakah dia sudah punya pengganti diriku? Apakah dia bahagia? Apa saja kesibukannya? Dimana dan dengan siapa dia sering menghabiskan waktu? Aku ingin tau semuanya.
Dear diary,
Kau tau? Dia kekasih terbaik yang pernah ku miliki. Dia lelaki yang tidak banyak omong, tapi justru itu yang membuat lelaki terlihat cool di mata cewek kan?. Aku suka dengan isi kepalanya, dengan sudut pandangnya yang berbeda dengan kebanyakan orang. Dia tidak (terlalu) suka menonton sepak bola. Dulu, pernah ku tanya alasannya kenapa dia tidak suka menonton sepak bola, karena kebanyakan lelaki suka dengan olahraga yang satu itu. Aku saja yang perempuan suka menonton sepak bola. Ternyata, dia melihat sepak bola dari sudut pandang lain. Jawabannya waktu itu, "sepak bola sudah di jadikan bisnis oleh orang-orang yang ada di lingkarannya, oleh sponsor-sponsor, sepak bola sudah tidak murni permainan lagi". Klasik! :)
Dia tau aku suka senja, ketika kita keluar dia juga sering menanyaiku ingin melihat matahari terbenam atau tidak, lalu kita akan mencari tempat yang bisa melihat matahari terbenam, tidak mewah, kadang di lantai atas gedung di kampusnya, kadang di pematang sawah, kadang di pinggir jalan raya, kadang di pantai. Dimana saja yang penting bisa melihat matahari tenggelam, itu sudah cukup membuatku bahagia. Meskipun ketika menikmati matahari tenggelam, dia cuma diam saja. Aku tidak tau, diamnya itu juga menikmati, atau membiarkan aku menikmati dan dia tidak ingin mengganggu. Karena setauku, dia tidak begitu mengagumi sunset seperti aku, tapi selalu menemaniku. :)
Dear diary,
Setelah begitu banyak cerita dan waktu aku habiskan dengannya, setelah kita saling mengenal dan memahami satu sama lain, hanya dengan sebuah alasan rumahku terlalu jauh dari rumahnya, entah kenapa orang tua kita tidak menyetujui hubungan ini. Tidak perlu ku jelaskan bagaimana perasaanku dan perasaannya waktu itu. Kita sama-sama terluka, sama-sama hancur. Sampai akhirnya kita putus baik-baik, menuruti apa mau orang tua kita. Dan akhirnya waktu lah yang membantu memperbaiki segalanya. Dan waktu pula yang mengingatkan lagi semuanya di acara pelatihan ini.
Dear diary,
Sudah hari ke 17. Ingin rasanya aku menyapanya terlebih dahulu, tapi aku tak sanggup. Benarkah dia tidak tau aku ada disini? Benarkah dia tidak pernah sedikitpun melihat wajahku diantara para peserta pelatihan ini? Aku mulai galau.
Dear diary,
Ini hari ke 21. Aku harus bagaimana?

Minggu, 24 September 2017

Jika Istrimu Adalah Seorang Pecinta Sepak Bola

Postingan ini terinspirasi setelah membaca project #CeritaJika milik Kurniawan Gunadi.
Menonton sepak bola adalah hobi mayoritas kaum adam. Menonton sepak bola itu identik dengan bangun tengah malam, lupa daratan ketika sudah melihat seniman lapangan hijau kesayangannya beraksi, dan taruhan.
Lalu, bagaimana jika istrimu adalah seorang pecinta sepak bola?
Sayang, kau tak perlu khawatir aku tidak bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dan tugasku sebagai seorang istri karena keasyikan menonton club favoritku bertanding. Meskipun aku menyita waktu tidurku untuk menonton sepak bola, keesokan harinya aku akan tetap menyiapkan sarapan untukmu, menyiapkan baju kerjamu dan mengurus rumah seperti biasanya. Karena menonton sepak bola hanya hobiku, dan itu tidak akan membuatku lupa akan kodratku sebagai seorang wanita dan istri.
Jika kau menawariku untuk jalan-jalan, jangan marah kalau aku akan memintamu mengajakku pergi ke stadion untuk menonton pertandingan live, menikmati euforia stadion di tengah gemuruh para supporter, daripada duduk manis dan tenang menonton film di bioskop. Meskipun aku tau sayang, niatmu adalah memanjakanku seperti perempuan-perempuan lainnya, tapi aku suka itu. Kau tidak keberatan kan, sayang?
Sayang, kau mungkin merasa jika seorang perempuan suka menonton sepak bola adalah karena dia mengidolakan salah satu pemainnya. Kau juga tidak perlu cemburu jika aku begitu mengidolakan kiper Chelsea, meskipun ganteng, kau tetap menjadi idola pertamaku.
Sayang, jika kau juga pecinta sepak bola sepertiku, kau tak perlu mengorbankan malam minggumu untuk mengajakku ke taman atau menikmati kopi di kafe, sedangkan tim favoritmu sedang bertanding. Karena dengan senang hati akan ku temani kau menonton tim favoritmu itu, dan ku buatkan kopi beserta camilan untuk menemani kita menonton tv. Aku tidak akan marah ketika kau lebih fokus ke tv daripada mendengarkan ocehanku. 
Sayang, jika ternyata kita punya tim favorit yang berbeda atau tim kita adalah rival. Aku tidak akan memaksamu untuk pindah menyukai tim favoritku. Aku juga tidak akan berdebat kusir denganmu tentang tim siapa yang lebih unggul, tapi kita akan saling mendukung dan kita akan menjadi contoh kerukunan antar fans sepak bola.
:))

Senin, 21 Agustus 2017

An Impressive Two And A Half hours In The Train

Aku mengambil tempat duduk di dekat jendela, untung dapat nomer tempat duduk yang menghadap ke depan, sehingga kepalaku tidak pusing selama perjalanan. Beberapa saat kemudian, seorang pemuda mencocokkan nomer di tiketnya dengan nomer diatas jendela kereta. Mengetahui kebingungannya, akupun bilang “8D?” “iya” jawabnya. “Saya 8E, gak masalah kan anda duduk disini?”. Kataku sambil mempersilahkan dia duduk di sampingku. Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut sepertinya dia mengerti bahwa perempuan lebih suka duduk di dekat jendela agar merasa terlindungi, dan agar perempuan bisa menikmati pemandangan atau sekedar bersandar di jendela ketika dia bepergian tanpa pasangan. Errrrr
Kereta mulai melaju meninggalkan stasiun Bojonegoro. Tempat duduk di depanku baru terisi 1 orang, itu artinya ada 1 orang lagi yg belum naik, mungkin akan terisi di stasiun berikutnya. Ku lirik pemuda di sampingku, dia mengeluarkan sebuah buku dari ranselnya. Tiba-tiba aku teringat kisah di novel critical elevennya Ika Natassa. Ada 11 menit paling krusial ketika naik pesawat, 3 menit ketika take off dan 8 menit sebelum landing. Lalu, apa yang akan terjadi denganku? Apakah aku akan diam saja dan kita tidak akan saling kenal setelah turun dari kereta? atau malah sebaliknya? Setelah berfikir beberapa saat, okay karena tadi aku menyabotase tempat duduknya, tak apalah aku yang akan memulai percakapan dengannya dulu. Hey, apakah aku akan terlihat ganjen ketika melakukan itu? Aku membatin, memonyongkan bibirku tanda ragu-ragu dengan rencanaku. Dan aku tersadar bahwa pemuda di sebelahku melihat kearahku ketika aku memonyongkan bibirku tadi. Duh malu sekali. Lalu aku tersenyum kepadanya dan mengangguk sebagai tanda permintaan maaf karena sikapku tadi.
“turun dimana?” finally kalimat itu keluar dari mulutku.
“benowo, kamu?” katanya.
“wonokromo”
“oohh” dia mengangguk.
Milea. Ku lihat judul buku yg di bawanya. Aha! Aku tau buku itu.
“Eh, katanya serial Dilan mau di angkat ke layar lebar ya?”
Dia sedikit menghadapkan badannya ke arahku, antusias karena aku ternyata tau tentang buku yang di bacanya. “katanya, si. Beritanya seperti itu. Kamu sudah baca novelnya juga?” dia bertanya padaku.
“Baru baca yang Dilan 1 sama 2, yang Mileanya belum.”
“suka gak?”
“suka laah, banget. Sampe baper, sampe pingin punya pacar yang kayak Dilan” jawabku tersenyum dan tanpa melihat ke arahnya. “Gimana kisahnya yang Milea, Suara dari dDilan?” lanjutku.
“belum selesai baca, baru setengah.” Jawabnya sambil memainkan novel yang di pegangnya.
“pernah baca artikel, ada beberapa artis yang di sebut-sebut bakal jadi Dilan. Kayak Reza Rahadian, Herjunot Ali, Vino G Bastian, Adipati Dolken dan banyak yang lainnya. Tapi aku lebih setuju Adipati Dolken sih, bad boy nya ada banget, cakep lagi.” Aku melihat ke arahnya ketika mengucapkan kata terakhir. “Kalo kamu kira-kira setuju siapa?” ku tanya pendapat dia.
“emmm belum ada pandangan si, tapi kayaknya Adipati Dolken cocok deh. Yah, bagaimanapun,  di tunggu saja lah. Pidi baiq pasti gak asal-asalan memilih orang untuk memerankan Dilan, kan? Dan saya juga termasuk orang yang sedang menunggu untuk itu. Hehe.”
“pinjam bukunya bentar boleh? Aku belum punya yang Milea, penasaran sama endingnya”
“baca aja dari awal” dia menyerahkan bukunya kepadaku.
“ya gak cukuplah waktunya kalo baca dari awal” aku menjawab sambil tertawa.
Ku buka novelnya. Membuka halaman-halaman awal, tengah, lalu terakhir. Aku cuma membaca secara garis besarnya saja, setidaknya aku sudah tau endingnya.
Kereta sudah berhenti di stasiun Lamongan, tidak terasa, dan tempat duduk di depanku kini juga sudah terisi orang.
“Sudah tau endingnya” kataku tersenyum sambil memberikan novel kepada pemiliknya. “Sayang sekali mereka tidak bersama”.
“sudah sudah jangan cerita, nanti aku males baca bukunya kalo dengar kisahnya dari orang lain.” Katanya sambil tersenyum.
“Hahaha oke oke. By the way, makasih yaa sudah di pinjami bukunya.”
“ya, sama-sama.” Jawabnya.
Aku menguap berkali-kali, mulai mengantuk. Ku pakai masker yang dari tadi ku biarkan tersangkut di leher, lalu menyandarkan kepalaku ke jendela kereta. Dan akupun tidak tau yang terjadi setelah itu. Tertidur.
Suara orang-orang berjalan dan berbicara membangunkanku. Ternyata kereta sudah sampai di stasiun Pasar Turi Surabaya. Pantas saja banyak yang turun disini. Dan itu artinya tinggal 2 stasiun lagi aku akan sampai di Wonokromo. Aku menoleh ke tempat duduk sebelahku. Sudah kosong, aku sedih tidak mengetahui dia ketika turun, atau setidaknya ucapan perpisahan kita. 3 menit pertama yang berkesan, tapi aku melewatkan 8 menit sebelum berpisah. Benar, aku menyesal sekali. Sampai tiba-tiba pandanganku tertuju pada novel Milea yang ada di dekatku. “dia lupa membawa bukunya” pikirku. Lalu ku ambil buku tersebut, membukanya lagi sambil berfikir bagaimana cara mengembalikannya? Ku cari nama pemiliknya di buku tersebut, barangkali dia meninggalkan informasi tentang dirinya. Dan benar, di penyekat buku tersebut, ada sebuah tulisan yang tidak terlalu rapi, “@adamyudhistira. Find me everywhere! 25 mei 2017.” Tanggalnya tertulis di bawah kalimat yang pertama dan tertanggal hari ini, berarti dia baru tadi menulisnya.
Jadi, buku ini ketinggalan atau dia sengaja meninggalkannya untukku? Tiba-tiba aku tersenyum sendiri. 
End.

Sabtu, 22 Juli 2017

Untukmu, Seseorang Yang Kelak Menjadi Partner Hidupku

Kamu perlu tau bahwa saat ini aku masih sedang mencoba memperbaiki diriku, dalam hal apapun yang menurutku perlu. Meskipun aku tidak tau yang aku lakukan ini benar atau salah.
Aku hanya ingin menjadi lebih baik, lebih percaya diri, lebih berwawasan, lebih pandai bersosialisasi, lebih dewasa, lebih bijaksana sehingga aku akan pantas bersanding denganmu.
Kamu juga perlu tau bahwa saat ini my heart broke into pieces. Aku tidak menyangka, aku yang selama ini tidak banyak tau tentang hal pacaran, tapi ketika aku beranjak dewasa aku malah mencintai seseorang yang dia bahkan tidak mengenalku, dan justru aku masih saja mencintainya, bahkan sampai sekarang aku masih mengingat dia. Aneh kan?
Lalu, orang tuaku berusaha mengenalkanku dengan seseorang, tapi caranya menyakitkanku. Aku benar-benar hancur saat itu, saat aku merasa menjadi boneka, ditambah lagi ketika yang di kenalkan kepadaku pun terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa aku telah menerimanya. Ah, aku tidak perlu menceritakannya dengan detil masalah ini disini, kan?
Saat ini, aku mengenal seorang lelaki di sekitarku yang sifatnya menurutku sangat tidak pantas sebagai seorang lelaki dan sebagai seorang suami. Orang ini pula yang memberikan aku semacam trauma yang membuat aku berfikir bahwa semua lelaki sama seperti dia. Itulah alasan kenapa sampai saat ini aku sulit percaya dengan yang namanya laki-laki. Aku takut aku akan mengenal orang seperti ini selanjutnya. Maka dari itu, aku selalu berdoa aku tidak menemukan dirimu seperti dirinya, kekasih.. Aku takut, aku berdoa kamu bukan tipe orang seperti dia. I hope you totally different with him.
Saat ini juga, mungkin karena aku masih sendiri. Beberapa orang mencoba untuk mendekatiku. Kau tau? Caranya sungguh kekanak-kanakan, dan aku sama sekali tidak tertarik untuk meladeni orang seperti itu. Tapi, secuek apapun aku, aku juga merasa terganggu di dekati orang seperti itu, aku tidak merasa aman dan nyaman dengan kehidupanku.
Orang-orang di sekitarku tidak tau, bahwa perempuan yang di lihatnya ini tidak sedang baik-baik saja, karena aku memang selalu berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan siapapun. Mereka tidak akan tau kalau dibalik senyum yang aku lemparkan sebenarnya hatiku pecah berkeping-keping, hatiku takut, hatiku penasaran, hatiku cemas, dan hatiku juga menantimu datang di usiaku yang sudah hampir seperempat abad ini.
Ketika bertemu denganmu, aku berharap kita bisa menjadi partner yang saling melengkapi, saling menjadi pelipur lara sekaligus membagi kebahagiaan bersama. Kita tidak menjamin kehidupan kita akan selalu baik-baik saja, tapi kita selalu punya solusi untuk masalah yang kita hadapi dan selalu percaya satu sama lain.
Ketika bertemu denganmu, aku berharap kamulah yang mengembalikan kepingan-kepingan hatiku agar menjadi utuh kembali, dengan sikapmu yang apa adanya yang akan membuatku mengaguminya. Dan aku akan merasakan dunia ini indah setelah bertemu denganmu dan selamanya.
Ketika bertemu denganmu, semoga kamulah orangnya yang merubah fikiranku bahwa semua lelaki itu sama. Kamu menyayangiku, mencintaiku, dan menerimaku apa adanya. Kamu menjadikan aku perempuan paling bahagia di dunia.
Ketika bertemu denganmu, aku berharap kamulah yang menjadi superheroku, kamu yang akan membuat orang-orang yang mencoba menggodaku mundur, kamu yang membuat aku menjadi pemberani karena kamu melindungiku.  Aku juga berharap bahwa aku akan merasa aman dan nyaman bersamamu, tidak merasa takut apa-apa lagi bahkan takut ketika perjalananku terasa berat untuk di lanjutkan.
Kamu harus tau, aku menaruh sejuta harapanku padamu, entah siapa kamu.

Senin, 01 Mei 2017

Hujan Bulan Juni

Cerbung: Kepingan Memori yang Kembali Part 4
“Pluviophile?” Suara Fatih mengagetkanku, tapi juga menenangkanku mengetahui itu dia karena aku terlalu takut berada disini sendirian pada saat hujan seperti ini. Aku terjebak di bank BRI setelah mengambil uang dari ATM.  Disamping BRI ada warung kopi dan banyak sekali cowok disana untuk ngopi atau cuma sekedar berteduh dari hujan yang tiba-tiba datang. Oleh karena itu aku benar-benar takut saat itu.
Aku menghembuskan nafas lega mengetahui yang datang Fatih. "Kenapa ekspresinya gitu?", Fatih bertanya lagi ketika melihatku mengeluarkan nafas seperti itu.
"Untung kamu yang datang tih, aku takut sendirian disini" Jawabku.
"Owh" katanya sambil ngangguk beberapa kali.
"Eh, by the way tadi kamu datang dari mana? Kok aku gak lihat tiba-tiba uda disini aja?"
"kamu nglamun aja sih mana sadar kedatanganku"
“kan uda bilang tadi itu gara-gara aku takut makanya diam aja"
" hehehe dari sana" lanjut fatih sambil menunjuk arah warung kopi.
Sekarang gantian aku yang ber-owh. Aku sudah mulai tenang sekarang, setidaknya ada yang menemaniku disini dan aku yakin dia gak akan ngapa-ngapain aku. "By the way, makasih ya tih sudah mau kesini, sumpah aku takut banget tadi" kataku sambil merentangkan telapak tanganku biar terkena air hujan yang jatuh dari ujung genteng bank.
"Iya rin gak papa, lagian aku juga gak tega kali temanku ntar di godain sama cowok-cowok yang di warkop itu" kata Fatih. Teman? Duh, sedih juga ketika Fatih menganggap aku cuma temannya. Batinku berbicara. Tapi aku diam saja.
"Kamu pluviophile, rin?" tanya Fatih ketika aku masih memain-mainkan air hujan dengan tanganku dan menikmatinya.
"Suka sih, tapi ya biasa-biasa aja gak lebay hehe. Kamu?" ku tanya dia balik.
"Biasa aja sih, tapi hujan sering bawa kenangan katanya"
"Kata siapa?" aku menyelidik.
"Kata orang-orang alay yang tiba-tiba jadi pujangga ketika turun hujan”
"Haha sering baca beranda facebook kamu pasti" ucapku ketawa. Fatih juga ikut ketawa.
"Tapi bener loh tih, kalo hujan itu bawaannya mellow mellow gimana gitu"
"cocok di pake bernostalgia dengan kenangan gitu, ya?"
"Iyaa haha"
"Kalo takut disini tadi kenapa gak langsung pulang aja meskipun hujan-hujanan, katanya kan suka hujan?"
“gak ah, ntar bajuku basah, baru ganti ini" jawabku asal sambil tertawa.
“So, that's why I’m scared when you say you love me" kata Fatih. Aku menoleh kepadanya sambil mengernyitkan dahi. Merasa aku memperhatikannya dia buru-buru bilang " Bob Marley". Maksudnya yang dia katakan adalah quote-nya Bob Marley.
Aku tersenyum, "you say you love rain, but you use an umberella to walk under it,” kataku. “you say you love sun, but you seek shelter when it is shining” Fatih melanjutkan. “Haha you say you love wind, but when it comes you close your windows” aku melanjutkannya lagi. “that’s why I'm scared when you say you love me” kita mengucapkan dengan suara hampir bersamaan kalimat terakhir dari quote Bob Marley ini, lalu tertawa bersama-sama.
"Kamu tau juga quote itu?" Kata Fatih masih tertawa.
"Taulah, banyak bertebaran di facebook" jawabku juga tertawa. Fatih ikut tertawa.
"Hujan-hujan gini, aku juga jadi ingat dulu, waktu kita SD" kataku sambil menoleh ke Fatih.
"Ingat yang bagian apa?" dia bertanya sambil melipat tangannya di depan dada.
"Kalo hujan mesti pengen cepet pulang, pengen hujan-hujanan ato pengen pake jas hujan sambil naik sepeda. Duh dulu itu seru banget ya" Aku mengingatnya sambil tertawa.
"And now everything has changed" komentar Fatih.
"Yap, benar" "dan kamu juga berubah, berubah lebih keren" lanjutku dalam hati.
"Ehm, kalo aku berubah gak, tih?"
"tetep, tetep pinter, tetep cantik hehehe" jawabnya sambil tersenyum.
“tsaaaah” jawabku sambil memalingkan muka.
"Kamu masih suka pengetahuan sejarah, rin?"
“Iya, masih suka baca buku yang berbau sejarah. Kenapa emang?”
“masih inget Douwes Dekker? Tiga serangkai pendiri indische partij; Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara?”
“iya iya lumayan inget”
“aku baru tau rin, kalo Multatuli, yang dulu sering kita hafalin nama itu karena bukunya yang terkenal max havelaar. Multatuli itu Douwes Dekker, rin... “
“oiya? Menarik itu. Tau darimana, tih?”
“pas kuliah pernah dapat tugas rin, menganalisis buku Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer. Jadi, mau gak mau kan harus baca tuh, disitu ada, kalo Douwes Dekker itu adalah Multatuli”.
“bentar deh tih, emang kuliahmu jurusan apa sih?” 
“sastra inggris, rin.. Sejak saat itu aku mulai suka baca buku sejarah hehe. Biasanya kan aku suka baca buku-buku ilmiah”.
“owh hehehe, kayaknya aku juga perlu baca buku itu deh”
“iya rin, recommended banget pokoknya, apalagi buat kamu yang suka sejarah. Kamu kuliahnya di Surabaya, kan?”.
Aku mengangguk.
“novel Bumi Manusia itu settingannya juga di Surabaya, rin.. Kamu pasti bisa bayangin tempatnya pas sambil baca”
“oke, next aku cari deh bukunya, aku penasaran juga. Berarti Douwes Dekker atau Multatuli itu punya andil juga untuk kemerdekaan bangsa ini ya?” aku kembali kepada topik sebelumnya.
“banget, dia itu orang belanda tapi kasihan sama orang pribumi. Makanya dia sampai membuat buku Max Havelaar itu. Berat loh yang di lakukan Douwes Dekker itu.” Kata fatih sambil mencoba tersenyum. Lalu kita terdiam beberapa saat.
“dulu kita mana tau hal semacam ini, dulu kita Cuma ngafalin nama-nama dalam pelajaran IPS buat persiapan kalo ujian” kata fatih memulai obrolan lagi.
“iya, dulu aku suka lho menghafal nama-nama yang ada di pelajaran IPS, nama-nama tokoh kemerdekaan, sampai nama-nama raja dan kerajaan hindu sampai islam. Gak tau kenapa dulu suka banget” jawabku.
“soalnya bu Dewi juga sering membuat singkatan-singkatan yang memudahkan kita buat menghafal sih hehe” lanjutku.
“bener-bener. Yang paling aku ingat tuh, musim kemarau asep, april sampai september, kalo musim penghujan omar, oktober sampai maret”
“itu IPA, pelajaran kesukaan kamu” aku tertawa.
“tapi sekarang itu sudah tidak berlaku ya? Sekarang bulan juni, tapi musim hujan hehe”
“haha iya kayaknya. Inget tokoh pendiri asean? Sama bu Dewi dulu juga di singkat. Adam Malik Indonesia, yang ini gak di singkat hehe, trus Tunma: Tun Abdul Rozaq Malaysia, TT: Tanat Khoman Thailand, SS: S Rajaratman Singapura, sama Nafi: Narciso Ramus Filipina”
“hahaha bener-bener rin, kamu masih ingat aja”
“iya, semua yang kita pelajari sewaktu SD dulu kita gampang mengingatnya kembali, beda sama sekarang, kalo belajar apa-apa sudah susah masuknya”
“iya, sudah banyak dosa sekarang, pelajaran masuknya juga susah. Samaa riin”. Jawabnya tertawa.
“berarti bener ya tih kalo orang-orang yang menghafal alqur'an itu menghafalnya dari kecil. Soalnya mudah masuknya dan gak mudah lupa juga”
“kayaknya sih begitu, rin”
“eh, kalo Sir Isaac Newton itu siapa, tih? Masih inget gak?”
“Newton itu alat utk mengukur gaya ya kalo gak salah? Berarti Sir Isaac Newton penemu gaya, ya?” Fatih menjawab dengan sedikit tidak yakin.
“Haha, aku malah lupa tih, dari dulu gak terlalu suka IPA sih.. Tapi kayaknya benar” kataku sambil tertawa.
“gak suka apanyaa? Dapat juara terus gitu dulu, nilaimu IPA juga tinggi”
“hey, kamu gak tau kalo mau ulangan IPA aku belajar 2X lebih giat biar bisa dapat nilai lebih tinggi dari kamu” jawabku dengan nada sedikit serius, seakan aku membocorkan rahasia kenapa dulu dapat nilai ulangan tinggi.
“oh jadi gitu? Tau gitu aku belajar 10X lebih rajin saat mau ulangan biar dapat nilai sempurna”. Jawab Fatih gak kalah serius sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang kanan kiri dan menengok ke arahku, seperti tanda menantang seseorang. Lalu kita tertawa bersama.
Ternyata hujan sudah mulai reda, tinggal gerimis-gerimis kecil. Dalam hati sebenarnya aku berharap hujannya tetep berlanjut, aku sangat menikmati waktuku berada disini dengan Fatih, “Tuhan, tolong berhentikan waktu sebentar, aku ingin lebih lama bersama orang ini” Aku membatin.
“Sudah reda, rin... Enggak di cariin ibumu, ta?”
“iya, gak kerasa yaa, tadi kita disini berapa lama?”
“gak ngitung juga hehe”
“yaudah, aku balik dulu ya, tih.. Makasih buanyaak sudah nemenin, sudah buat aku gak takut, makasih, makasih pokoknya”. Kataku sambil menaruh dompet di jok motor.
“Santai aja rin.. “
“pulang dulu ya.. Main ke rumahku, kek!”
“hehe iya kapan-kapan”
Aku tau, dia gak akan main ke rumahku, itu hanya jawaban basa-basinya saja.

Minggu, 09 April 2017

Cuma Mimpi

Siang, panas, macet dan hari senin. Perpaduan yang pas untuk membuat kesal pake banget. Apalagi lama sekali menunggu bus kota lewat. “Aku pengen mabuk kalo liat kendaraan sliweran banyak gini, Sa” ujar temanku Windy yang nantinya akan aku sering panggil kakak. “Tenang kak, aku aslinya ini juga uda bete banget kalo kayak gini”. Oke, kita berdua memang benar-benar membenci kondisi semacam ini saat ini.
Kira-kira lima menit kemudian dari jauh ada bus yang datang, “itu bus nya, kak” kataku yang dari tadi berdiri di halte, karena kalau duduk saja bikin ngantuk. “Iya bener” sahut Windy sambil berdiri dari tempat duduknya membenarkan posisi ranselnya. Bus mendekati kami tapi jalurnya masih di tengah, tidak ke pinggir padahal kita sudah melambai-lambaikan tangan tanda mau naik bus itu. “kok gini sih, gak kayak biasanya” kataku sambil mendekati bus yang mulai berjalan pelan dan ku gedor pintunya yang masih tertutup. “gak di buka-buka lagi” lanjut Windy yang mengikuti di belakangku. Akhirnya pintunya terbuka, dan aku segera menginjakkan kakiku di anak tangga bus lalu masuk beberapa langkah di bus untuk memberi ruang Windy naik. Baru saja Windy naik langsung di gas saja hingga membuat kami kaget. Ku liat di depan ada bapak yang sepertinya juga akan naik bus ini. “Baiklah nanti kalo bapak itu mau naik aku akan mencari tempat duduk” Batinku. Perlu aku katakan bahwa bus ini tidak seperti bus pada umumnya, anak tangga dari pintu menuju tempat duduk tinggi sekali, tapi ada tempat untuk berpegangan saat akan melewati anak tangga itu. Aku dan Windy berada di anak tangga itu, agak minggir takut kalo saja ada yang mau lewat untuk turun. Ketika sampai di tempat bapak tadi, si sopir menghentikan busnya dan membantu si bapak untuk naik. “hello, harusnya membantu kami dulu biar si bapak leluasa lewat” batinku sambil memandang si sopir dengan heran. Lalu ku lihat Windy. Sepertinya dia juga berpikiran yang sama denganku. Akhirnya bapak itu beres, dia sudah duduk di bangku penumpang entah sebelah mana aku tidak melihat. Si sopir memandang kami yang bergelantungan di anak tangga bus sambil tertawa tanpa suara dan kembali ke tempatnya untuk kembali menjalankan busnya. Aku semakin bingung saja. Akhirnya aku dan Windy berusaha sendiri untuk sampai ke tempat duduk. “lihatlah kak, bahkan dia sama sekali gak merasa bersalah” ucapku kesal ketika melewati si sopir dan mulai duduk di tempat duduk belakang sopir karena itu yang kosong. Windy tertawa,  terbahak malah. “lucu ya kita tadi waktu bergelantungan di anak tangga, dengan ekspresi kita tadi, Sa” kata Windy masih sambil tertawa. Aku ikut tertawa juga akhirnya mengingat kejadian barusan tapi hatiku masih kesal. Si sopir menengok ke arah kami, beberapa penumpang yang dekat dengan kami juga. Bodo amat, aku gak peduli dengan mereka semua, toh tadi juga gak ada yang peduli denganku. “Ya ampuun aku kuesel sama sopir ini kak!” kataku lagi. Si sopir menoleh ke arah kami lagi, kali ini dengan tertawa. Biasanya sopir bus antar kota adalah orang yang sudah separuh baya, tapi aku mengakui sopirnya kali ini masih muda banget, masih anak-anak dan belum dewasa sepertinya. Bus yang aku tumpangi ini ber-ac, juga ada headset yang tertempel di tempat duduk kalo kita ingin mendengarkan musik. Daripada bete, kesel aku memakai headset tersebut dan didepan ku lihat mulai macet panjang sekali. “maceet” ucap si sopir sambil meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya lalu menyandarkan kepalanya di kursi. Kemudian dia menoleh ke belakang, mengajak aku dan Windy bercanda. Windy ikut tertawa, tapi aku enggak, masih kesal dengan kejadian tadi. Tapi, ku akui si sopir muda ini selera humornya tinggi, aku sebenarnya juga pengen ikut tertawa, tapi aku diam saja karena rasa kesalku lebih besar. Eh, entah selera humornya yang tinggi atau lugu, beda tipis. Hehe. “Ini lagi, headsetnya sudah banget di taruh kuping” Batinku. Tau kekesalanku gara-gara headset lewat ekspresiku, si sopir itu memakaikan earphone yang di pakainya kepadaku, tanpa bilang apa-apa, dia Cuma tersenyum. “hey, apa-apaan ini?” batinku. Tapi aku masih diam saja, masih kesal. Dan meletakkan kepalaku di besi kecil di depanku yang di bentuk semacam meja. Aku ngantuk, mau tidur. “Sa, orang ini lucu sekali kan?”, kata windy, dia menikmati bercanda dengan si sopir dan sepertinya dia melupakan kejadian menyebalkan kita sepanjang siang ini. “Saaaa” Windy menggoyang-goyangkan lengan tanganku. Aku gak peduli soalnya ngantuk banget dan bete. “ini temennya ngantuk, biarkan dia tidur”. Ku dengar si sopir berucap begitu ketika aku sudah mulai setengah gak sadar, Windy masih mengobrol dengan sopir muda itu dan bus ini masih terjebak macet. Lalu aku tidak tahu apa yang terjadi.
“Sa, bangun, sa.. Sudah mau sampe”.
Aku mengangkat kepalaku, melihat ke luar jendela. Aku tidak tau ini daerah mana, yang penting Windy tau dan tujuan kami pasti, mau ke kost nya si Windy, lalu mendatangi sebuah bimbel untuk aku melamar pekerjaan disana. Kalo cocok sih.
Aku dan Windy adalah mahasiswa semester 5, tapi kita beda universitas dan beda jurusan pula. Aku tidak perlu menyebutkan nama universitas kami.
Ku lihat sopirnya sudah ganti, bapak separuh baya. “kak, sopir yang tadi mana?” ku tanya Windy sambil celingukan ke kursi duduk penumpang. “ternyataa sa, dia yang itu tadi bukan sopir”, “trus?”, “entahlah, penumpang seperti kita mungkin.. Aku juga gak paham”, “emang dia tadi gak cerita ke kamu, kan ngobrol lama tadi”, “enggak, gak bahas itu sama sekali. Cuma pas sampe mall belakang itu tadi, sopir yang ini gantiin dia sambil bilang makasih ke dia”. “owhh. Ini earphonenya gimana?” tanyaku pada Windy. “dia gak pesen apa-apa tadi sama kamu tentang earphone nya?” lanjutku. “enggak tuh, lupa mungkin dia”.
Akhirnya kami turun dari bus dan ganti naik angkutan menuju kostnya Windy. Tidak lama, kira-kira 10 menit kita sudah sampai kost. “alhamdulillah” ucap kita hampir bersamaan ketika memasuki kamarnya Windy. Aku membaringkan tubuhku di kasur, Windy beres beres barangnya. “aku masih kepikiran sama anak muda tadi, kak..”, “siapa? Sopir ganteng tadi? Ciyeee” Windy menggodaku. “maksudku earphone nya ini kak” tapi aku akui dia menyenangkan, tapi juga nyebelin sih” lanjutku tanpa memandang Windy dan hanya melihat langit-langit kamar kostnya Windy. “dia lucu, Sa.. Baik juga” kata Windy. “dari semua rangkaian kejadian yang membuat kita kesal tadi, termasuk dia, tapi dia juga yang memberi kesan menyenangkan kak..” ucapku sambil tertawa. Windy berbaring di sebelahku. “entah kenapa, Aku ingin ketemu dia lagi kak” ucapku sambil menoleh ke Windy. Yang diajak ngobrol Cuma tersenyum.
Keesokan harinya, di Excellent bimbingan belajar.
Aku berjalan-jalan di ruangan bimbel ini bersama Windy. Tadi aku sudah interview dan peluang untuk di terima cukup besar, sepertinya. Karena bimbel ini sedang benar-benar membutuhkan tenaga kerja. Apalagi, Windy juga sudah mengajar di bimbel ini juga. “hallo mbak”, sapa seorang pemuda ketika aku berjalan melewati lorong ruangan. Aku menoleh.. “kamu?” entah kenapa aku tiba-tiba tersenyum, padahal aku belum yakin ingatanku tentang orang ini benar atau tidak. Aku ingin memastikan dengan Windy bahwa dia ini si sopir kemaren siang itu, tapi Windy masih berada lumayan ajuh di belakangku, mengobrol dengan entah siapa. “kamuu, sopir bus kemaren itu kan?” “hehehe iya mbak”, “earphone mu kebawa sama aku.. Kamu ikut bimbel disini? Besok aku anter kesini ya”, “aduuh mbak, gak papa, buat mbak aja”. Katanya. Windy mendekati kami, dia terkejut juga “looh” Cuma itu yang di ucapkan. “hai mbak, pemuda itu melambaikan tangan ke Windy yang masih gak yakin juga”. “duluan ya mbak, uda di tunggu”. Dia berlalu.
Dari sebuah jendela kaca, Windy melihat sesuatu. Dia berlari ke arahku. “Sa, Sa, sini deh.. Katanya sambil menarik lenganku. “apaan?” tanyaku mengikutinya. “cowok itu sa, cowok itu, kayaknya dia anaknya bu rani deh” dia menunjuk ke halaman parkir dan disana ada pemuda yang kemaren jadi sopir bus dan seorang perempuan paruh baya. “ bu rani? Bu rani siapa?” tanyaku, “bu rani, ibu yang aku les in bhs inggris soalnya cucunya yang di singapore kalo ngomong pake bhs inggris. Liat tu, cowok itu sama bu rani, gak mungkin kan kalo gebetannya bu rani?” Windy masih ngomong panjang lebar sambil melihat ke halaman parkir, aku juga ikut melihat ke halaman parkir. Pemuda itu, dan mungkin ibu yang di panggil oleh Windy bu rani, masuk ke sebuah mobil, lalu mobil itu mulaj melaju meninggalkan halaman parkir. “jadi, kamu mau kan ngajar disini?” tanya windy ketika mobil itu sudah berlalu. “iissshh” aku Cuma tertawa. Dan aku tiba-tiba bahagia.
*cerita ini di adaptasi dari mimpi di siang bolong. Makanya ceritanya juga agak gak jelas. 

Jumat, 31 Maret 2017

Good Bye...

"Lepaskan, ikhlaskan.. Dan kamu akan merasa lebih tenang"
Suatu waktu aku mengirim sebuah pesan untuk minta tolong kepada salah satu teman terdekatku,
"Aku mau ke surabaya, kamu bisa mengantarku ke juanda airport kalo aku disana?"
Beberapa detik kemudian dia membalas, aku tau pasti dia sangat kepo kenapa aku ingin ke bandara.
Ting
"Mau ngapain ke juanda?"
Tuh kan bener...
"Ingin menyeleselaikan masa lalu. Aku ceritain lebih detil kalo sudah disana deh. Kamu bisa gak?"
"Iya aku usahain bisa"
Akhirnya hari senin aku berangkat ke Surabaya. Aku akan ke bandara hari selasa malam, tgl 3 januari karena tepat 2 tahun yang lalu aku memulai masalah yang akan aku selesaikan ini. Ya, masalahku adalah... Jatuh cinta padamu, bahkan pada pandangan pertama. 
Juanda airport, 3 januari 2017, pukul sembilan belas lebih sembilan belas.
Aku berdiri dimana dua tahun yang lalu aku berkeliaran di sekitaran sini dengan perasaan bahagia juga sedih pada saat yang bersamaan.
Beberapa menit aku diam saja disana, memperhatikan keadaan sekitar dan mengingat yang terjadi 2 tahun yang lalu.
"2 tahun yang lalu aku jatuh cinta sama seseorang disini Han, di waktu yang sama pula. Aku bertemu dengannya, tak sempat berbicara dengannya tapi aku uda suka sama dia, waktu itu aku berharap setelah dia kembali dari perjalanannya kita akan berjumpa lagi, kita akan kenal, dan kamu tau kan yang aku inginkan setelah perkenalan? Tapi ternyata aku belum pernah bertemu dengannya lagi sejak saat itu. Awalnya aku masih menunggu, kali aja kita dipertemukan kembali tanpa sengaja. Ketika waktu terus berjalan dan masih belum ada keajaiban, akhirnya aku rasa cukup....... Dan sekarang, aku ingin membuang perasaan itu, melupakannya, mungkin untuk selamanya. Oleh karena itu, aku datangi tempat ini, mengingat semuanya, dan akan membuang semuanya juga di tempat ini. Semoga caraku yang ini berhasil, setelah selama 1 tahun lebih aku masih mengingatnya. Aku menoleh ke Hani. Dia diam saja mendengarkanku.
Tanpa di minta aku menceritakan semuanya dari awal sampai akhir kepada Hani, teman dekatku yang malam ini mengantarku kesini. Hani sangat mengerti aku, dia membiarkanku, memberiku waktu untuk menyelesaikan masalahku, sendiri.
"Pulang yuk, Han"
"Yakin? Kau sudah menyelesaikan masalah masa lalumu?"
Aku mengangguk.
Masa laluku sudah selesai sekarang. Dan setelah ini, aku tidak akan mengingatnya lagi, tidak akan mencari tau tentangnya lagi. Cukup Han, sudah cukup buat aku. Suaraku yang terakhir terdengar lebih serak.
Hani memelukku, tapi dia tidak bilang apa-apa. Hani tau, cuma memberi nasehat dan kata-kata motivasi untukku saat ini tidaklah terlalu penting. Dan dia benar, aku lebih tenang ketika dia memelukku.
"Yuk, pulang" aku mengusap air mataku dan memperbaiki posisi tasku.
"Iya" Jawab Hani sambil mengangguk.
Kamipun berjalan ke arah tempat parkir.
Motor Hani melaju meninggalkan bandara. Setelah melewati pintu keluar bandara, aku menoleh ke belakang, lalu mengucapkan good bye yang dibawa oleh angin berhembus entah kemana.
*baru sempat di posting karena obrak-abrik isi note book dan nemu tulisan ini. Latepost banget ya

Jumat, 27 Januari 2017

Syawal Syahdu

Cerbung: Kepingan Memori yang Kembali Part 3

Bulan syawal memang musimnya nikah. Baru seminggu setelah lebaran aja aku sudah resepsi 3X. Dan selanjutnya aku akan resepsi di pernikahannya kakak angkatanku waktu di pondok dulu, aku di undang soalnya selain tetangga (meskipun rumah kita gak deket-deket amat), kakak kelasku itu juga lumayan deket sama aku sewaktu di pondok.

Di acara pernikahan mbak Mira—begitu aku memanggilnya, ternyata aku baru tau kalo Akbar adalah keponakannya kakak kelasku itu. Aku tau itu ketika ku lihat Akbar sibuk kesana-kemari ikut membantu terselenggaranya acara.
Oiya, Akbar adalah teman SD ku, dulu  dia yang paling jago di pelajaran agama, meskipun untuk  peringkat dia hanya ikut 5 besar. Waktu reuni kemaren dia gak hadir. Dia dulu waktu sekolah bisa dibilang deket dengan Fatih.
Baru di akhir acara, ketika para tamu mulai pulang aku menghentikannya ketika dia lewat di depanku, "akbar" panggilku dengan sedikit berteriak, "loh ririn? Kok bisa ada disini?" "iya, temennya mbak Mira. Kamu?” seakan Akbar paham dengan kebingunganku dan dia menjawab “ mbak Mira itu ammahku, rin” "wah gak nyangka ya, dunia selebar daun kelor", "bentar deh rin, kok bisa kamu temennya ammah Mira? Kan kamu seangkatan sama aku?”, "owwh jadi aku adik kelasnya mbak Mira waktu dipondok bar, tapi aku jawab ngasal kirain kamu keluarga jauhnya mbak Mira". Jawabku sambil tertawa. “Oh gitu, oh ya, Fatih disini juga" "apa?" itu adalah ekspresi kagetku ketika nama Fatih disebut, bukan karena aku kurang mendengar apa yang diucapkan Akbar". Akbar melambaikan tangannya ke arah Fatih, aku mengikuti arah pandangan matanya, dan benar saja, Fatih disana, dia berjalan menuju ke arah kita. “waah berasa reuni kecil ini” ujar akbar. “ayo duduk dulu, ngobrol-ngobrol dulu”. “Aku pulang aja deh, cewek sendiri” aku berusaha menghindar. “Eh jangan rin, disini dulu aja, temenin aku, lagian  Akbar masih sibuk, kan? Ntar ketauan dong misi kita kalo aku sendirian aja” Fatih menjawab panjang lebar sambil melirik ke Akbar ketika mengucapkan kalimat terakhir. “misi? Emang misi apa sih?” aku mulai ikut duduk, penasaran dengan rencana 2 orang ini. Fatih dan Akbar tersenyum, “ntar tau sendiri deh” Akbar yang menjawab. “Okey, jadi aku sebagai apa nih?” Aku berusaha setenang mungkin dan tetap tersenyum. “Eh, aku tinggal bentar ya.. Bentar”. Akbar meninggalkan kami. "Tuh kan, apa aku bilang tadi" Fatih nyelutuk. Aku tersenyum, “kok belum balik, tih?" ”minggu depan mungkin..Kamu, kok masih di rumah juga?" dan percakapan pun terjadi antara kita berdua. Finally i got that time, God..

Kira-kira 10 menit kemudian Akbar datang menemui kami. Sepertinya dia sudah tidak sibuk. Setelah mengobrol tentang masa lalu sebentar, saatnya mereka melakukan misi mereka. “kita tunggu aja disini, ntar dia juga seliweran disini” “aku kok lumayan deg-degan ya, tapi penasaran juga orangnya seperti apa”. Aku yang tidak paham apa-apa nyelutuk aja “hmmm ini pasti masalah cewek” “cerdas sekali kau ini rin” Akbar memujiku, “ini aku mau ngenalin Fatih sama sepupuku, kali aja mereka cocok... Eh tapi bahasanya kok ngenalin ya, ngasih tau mungkin lebih tepatnya” lanjut Akbar sambil tertawa. “iya, dia maksa banget biar aku ngeliat sepupunya itu” ucap Fatih, dengan nada yang datar-datar saja.
“faraah” ucap akbar pada seorang perempuan yang bepakaian serba biru laut, hijabnya menutupi dada. Sepertinya ini target mereka. Aku membatin.
“tolong ambilin minum buat 2 temenku ini aku dong, pleeaseee”
“iya tunggu sebentar” ucap perempuan itu dengan tersenyum ramah.
“gimana?” tanya akbar Ketika perempuan itu sudah pergi.
“yaa lumayan” jawab Fatih sambil mengangguk-angguk
“Kalo menurut kamu gimana, rin?”
“mmm cantik, anggun, ramah, hijaber lagi”  jawabku berusaha menyembunyikan badmoodku mendadak.
Perempuan yang dipanggil Farah tadi datang kembali dengan membawa nampan yang berisi teh, mendekati tempat duduk kami. Dan menaruh teh tersebut di depan masing-masing dari kami.
“farah, ini namanya Ririn” ucap akbar sambil mengenalkan aku pada Farah. Yang dikenalkan lalu menyalami tanganku sambil menyebutkan namanya, akupun melakukan hal yang sama.
“kalo yang ini namanya fatih” farah melirik ke arah fatih, begitu pula fatih. Keduanya sama-sama tersenyum. Gila, Fatih pandai sekali mengatur waktu kapan waktunya melirik cewek itu dan kapan waktunya melemparkan senyum.
“she will remember me, I swear!” ucap Fatih ketika Farah sudah berlalu.
“Kok bisa gitu, tih?” aku penasaran alasan fatih ngomong seperti itu.
“ada jurusnya riiiin” jawab fatih tertawa. Dia memanjangkan huruf i ketika menyebut namaku.
“Jurus pertama, beri kesan menarik pada gebetan supaya si gebetan tidak melupakanmu begitu saja” Akbar menimpali sambil mengerlingkan 1 matanya ke fatih.
“oh jadi kebanyakan cowok ngelakuin hal itu ya? Baru tau” aku melipat tangan di perutkuku sambil menyandarkan punggungku di kursi.
“emang kamu gak pernah tertarik sama cowok karena kesan pertama, rin?” Akbar nyelutuk.
“mmmmmmm.... Apa sih? Gak mau jawab ah, sensitif aku kalo di tanya hal beginian, sama cowok lagi. Udah ah mau pulang, misi sudah selesai kan?” lanjutku.

Finally, aku pamit duluan...meninggalkan Fatih dan Akbar yang masih mengobrol, mungkin melanjutkan obrolannya tentang Farah. Pulang duluan is the best way, I think... Daripada aku harus ikut membicarakan cewek lain dengan Fatih?
Okey, aku harus menekankan kepada hatiku sekali lagi. Memangnya Fatih itu siapanya aku? Kenapa aku tiba-tiba cemburu gak jelas begini? Sudah cukup rin...cukup! Aku beberapa kali memukul keningku.

Rabu, 18 Januari 2017

Dia yang menangis paling keras ketika berpisah, dia juga yang menangis paling seru ketika bertemu

Melihat tingkah adik perempuanku, aku menyadari bahwa menangis bukanlah melulu tanda kesedihan, tapi juga tanda kebahagiaan. Adik perempuanku itu memang anak paling bungsu di keluargaku, tau sendiri kan anak bungsu identik dengan apa? Manja, kekanak-kanakan, cengeng, kurang lebihnya seperti itu. 2 bulan yang lalu, dia menangis luar biasa ketika melihat keponakan cowoknya yang baru berumur empat bulan (anakku) dan aku beserta suamiku akan kembali ke Surabaya. Ya, kami memang merantau ke Surabaya. Tambahan lagi, adikku itu sudah bisa di bilang mulai tumbuh dewasa, dia sedang menempuh semester 2 di sebuah universitas swasta di kota kami tinggal. Sebagai sesama cewek, aku merasakan apa yang dirasakan adikku itu, bagaimana tidak, dari lahirnya keponakannya ini sampe empat bulan pada saat itu dia tau perkembangan keponakannya, wajar saja jika dia sedih ketika ditinggal balik. Sebenarnya yang sedih saat itu juga bukan dia saja, akupun begitu, merasa sedih luar biasa  ketika harus balik, duh.. empat bulan dirumah berhasil membuat memori yang berat untuk dilupakan. However, home is the best and the most comfortable place ever and never. Ibu apalagi, sosok yang selalu aku rindukan ketika berada jauh dari rumah. (Hello, kenapa jadi saya yang baper, baiklah... Kembali lagi masalah adikku yang tadi)

Hari ini, dia kesini, mengunjungi kami di Surabaya. Jangan salah, walaupun adikku anak bungsu dan cengeng atau apalah namanya, tapi dia juga berani loh ke Surabaya seorang diri. Dan hari ini, setelah mencuci kaki di kamar mandi setelah perjalanan jauh, dia segera mencium keponakannya sambil menangis sesenggukan, sampai apa yang dia omongkan tidak terdengar jelas. Apakah itu tanda kesedihan? Tentu saja tidak. And everyone knows it. Itu adalah tanda kebahagiaan yang tak terkira. Bahkan aku juga sampai ikut menangis, teringat saat merawat anakku ketika masih dirumah.

Dari artikel online yang pernah aku baca, menangis adalah respon alami terhadap perasaan tertentu. Biasanya karena sedih atau kesakitan, tapi terkadang juga karena alasan lain yang melebihi itu.  Jadi, menangis tidak selalu berarti kesedihan, terlalu bahagia atau terharu pun kadang juga membuat seseorang mengeluarkan air mata.
Air mata tak selalu menandakan bahwa seseorang itu lemah, dia punya banyak arti, termasuk sedih, sakit, bahagia, terharu bahkan lucu. Oleh karena itu, let me say that air mata adalah teman yang paling setia, paling pengertian, dan paling jujur dalam kondisi apapun. Bahkan, kita akan merasa sangat puas ketika sudah mengeluarkan air mata, entah karena sedih atau bahagia. Right? 

*based on someone's true story.