Senin, 21 Agustus 2017

An Impressive Two And A Half hours In The Train

Aku mengambil tempat duduk di dekat jendela, untung dapat nomer tempat duduk yang menghadap ke depan, sehingga kepalaku tidak pusing selama perjalanan. Beberapa saat kemudian, seorang pemuda mencocokkan nomer di tiketnya dengan nomer diatas jendela kereta. Mengetahui kebingungannya, akupun bilang “8D?” “iya” jawabnya. “Saya 8E, gak masalah kan anda duduk disini?”. Kataku sambil mempersilahkan dia duduk di sampingku. Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut sepertinya dia mengerti bahwa perempuan lebih suka duduk di dekat jendela agar merasa terlindungi, dan agar perempuan bisa menikmati pemandangan atau sekedar bersandar di jendela ketika dia bepergian tanpa pasangan. Errrrr
Kereta mulai melaju meninggalkan stasiun Bojonegoro. Tempat duduk di depanku baru terisi 1 orang, itu artinya ada 1 orang lagi yg belum naik, mungkin akan terisi di stasiun berikutnya. Ku lirik pemuda di sampingku, dia mengeluarkan sebuah buku dari ranselnya. Tiba-tiba aku teringat kisah di novel critical elevennya Ika Natassa. Ada 11 menit paling krusial ketika naik pesawat, 3 menit ketika take off dan 8 menit sebelum landing. Lalu, apa yang akan terjadi denganku? Apakah aku akan diam saja dan kita tidak akan saling kenal setelah turun dari kereta? atau malah sebaliknya? Setelah berfikir beberapa saat, okay karena tadi aku menyabotase tempat duduknya, tak apalah aku yang akan memulai percakapan dengannya dulu. Hey, apakah aku akan terlihat ganjen ketika melakukan itu? Aku membatin, memonyongkan bibirku tanda ragu-ragu dengan rencanaku. Dan aku tersadar bahwa pemuda di sebelahku melihat kearahku ketika aku memonyongkan bibirku tadi. Duh malu sekali. Lalu aku tersenyum kepadanya dan mengangguk sebagai tanda permintaan maaf karena sikapku tadi.
“turun dimana?” finally kalimat itu keluar dari mulutku.
“benowo, kamu?” katanya.
“wonokromo”
“oohh” dia mengangguk.
Milea. Ku lihat judul buku yg di bawanya. Aha! Aku tau buku itu.
“Eh, katanya serial Dilan mau di angkat ke layar lebar ya?”
Dia sedikit menghadapkan badannya ke arahku, antusias karena aku ternyata tau tentang buku yang di bacanya. “katanya, si. Beritanya seperti itu. Kamu sudah baca novelnya juga?” dia bertanya padaku.
“Baru baca yang Dilan 1 sama 2, yang Mileanya belum.”
“suka gak?”
“suka laah, banget. Sampe baper, sampe pingin punya pacar yang kayak Dilan” jawabku tersenyum dan tanpa melihat ke arahnya. “Gimana kisahnya yang Milea, Suara dari dDilan?” lanjutku.
“belum selesai baca, baru setengah.” Jawabnya sambil memainkan novel yang di pegangnya.
“pernah baca artikel, ada beberapa artis yang di sebut-sebut bakal jadi Dilan. Kayak Reza Rahadian, Herjunot Ali, Vino G Bastian, Adipati Dolken dan banyak yang lainnya. Tapi aku lebih setuju Adipati Dolken sih, bad boy nya ada banget, cakep lagi.” Aku melihat ke arahnya ketika mengucapkan kata terakhir. “Kalo kamu kira-kira setuju siapa?” ku tanya pendapat dia.
“emmm belum ada pandangan si, tapi kayaknya Adipati Dolken cocok deh. Yah, bagaimanapun,  di tunggu saja lah. Pidi baiq pasti gak asal-asalan memilih orang untuk memerankan Dilan, kan? Dan saya juga termasuk orang yang sedang menunggu untuk itu. Hehe.”
“pinjam bukunya bentar boleh? Aku belum punya yang Milea, penasaran sama endingnya”
“baca aja dari awal” dia menyerahkan bukunya kepadaku.
“ya gak cukuplah waktunya kalo baca dari awal” aku menjawab sambil tertawa.
Ku buka novelnya. Membuka halaman-halaman awal, tengah, lalu terakhir. Aku cuma membaca secara garis besarnya saja, setidaknya aku sudah tau endingnya.
Kereta sudah berhenti di stasiun Lamongan, tidak terasa, dan tempat duduk di depanku kini juga sudah terisi orang.
“Sudah tau endingnya” kataku tersenyum sambil memberikan novel kepada pemiliknya. “Sayang sekali mereka tidak bersama”.
“sudah sudah jangan cerita, nanti aku males baca bukunya kalo dengar kisahnya dari orang lain.” Katanya sambil tersenyum.
“Hahaha oke oke. By the way, makasih yaa sudah di pinjami bukunya.”
“ya, sama-sama.” Jawabnya.
Aku menguap berkali-kali, mulai mengantuk. Ku pakai masker yang dari tadi ku biarkan tersangkut di leher, lalu menyandarkan kepalaku ke jendela kereta. Dan akupun tidak tau yang terjadi setelah itu. Tertidur.
Suara orang-orang berjalan dan berbicara membangunkanku. Ternyata kereta sudah sampai di stasiun Pasar Turi Surabaya. Pantas saja banyak yang turun disini. Dan itu artinya tinggal 2 stasiun lagi aku akan sampai di Wonokromo. Aku menoleh ke tempat duduk sebelahku. Sudah kosong, aku sedih tidak mengetahui dia ketika turun, atau setidaknya ucapan perpisahan kita. 3 menit pertama yang berkesan, tapi aku melewatkan 8 menit sebelum berpisah. Benar, aku menyesal sekali. Sampai tiba-tiba pandanganku tertuju pada novel Milea yang ada di dekatku. “dia lupa membawa bukunya” pikirku. Lalu ku ambil buku tersebut, membukanya lagi sambil berfikir bagaimana cara mengembalikannya? Ku cari nama pemiliknya di buku tersebut, barangkali dia meninggalkan informasi tentang dirinya. Dan benar, di penyekat buku tersebut, ada sebuah tulisan yang tidak terlalu rapi, “@adamyudhistira. Find me everywhere! 25 mei 2017.” Tanggalnya tertulis di bawah kalimat yang pertama dan tertanggal hari ini, berarti dia baru tadi menulisnya.
Jadi, buku ini ketinggalan atau dia sengaja meninggalkannya untukku? Tiba-tiba aku tersenyum sendiri. 
End.