Sabtu, 10 Desember 2016

Taruhan Balapan Lari

Cerbung: Kepingan Memori yang Kembali Part 2

Kencana cafe, 10.37 a.m

Sambil menunggu pesanan datang kami mengobrol tanpa topik. Enaknya bertemu teman lama itu kita bisa belajar banyak pengalaman yang berbeda-beda dari mereka, tentunya lewat cerita mereka. Yes, this is not only a reunited but also sharing experiences. Misalnya, yang masih belom menikah nanya-nanya sama yang sudah menikah tentang gimana rasanya menikah, kehidupan setelah menikah, yang tidak kuliah tanya kuliah itu gimana, yang sudah bekerja menjelaskan dunia kerja itu bagaimana. Bagi-bagi ilmu dengan teman-teman lah intinya. Duh kencana kafe jadi rame sekali gara-gara rombongan kita datang.
“Wil, kamu masih jomblo gak? Sofi jomblo nih, sapa tau kalian bisa jadian” Arif mulai membuat lelucon. Tapi Sofi yang merasa tidak terima dengan ucapan Arif memukul dengan keras lengan Arif.
“Hahaha rasain loe” ungkapku menyetujui apa yang dilakukan Sofi.
“Sepertinya aku bukan tipenya Sofi” ujar wildan sambil menunduk, sok sedih. Ekspresinya dia dapat sekali. Hahaa
“Tipenya Sofi pasti yang otaknya main, trus juga hobi olahraga, iya gak, Sof?” Fatih menimpali.
“yang soleh, yang gahool, yang terpelajar” Sofi menjawab sambil mikir kriteria cowok idamannya.
“aku banget itu” Riyan menyahut.
Semuanya tertawa. Jelas-jelas Riyan tidak nyantol sama sekali di kriteria yang diucapkan Sofi tadi.

Sebenarnya aku menyimpan sejuta rasa penasaran dengan Fatih. Tapi, belum ada topik yang bisa menjadikanku ngomong dengannya. Keadaannya masih beku. Dan aku gak berani untuk menyapa dia duluan. "Tanyain gue kek, tih..." Aku membatin. Aku bernafas kesal dan mulai menghitung mundur sampe seberapa lama aku dan Fatih akan sama-sama tidak saling mengenal.

Percuma nungguin Fatih ngomong sama aku, justru Riyan yang mengajakku bicara. Kebetulan dia duduk di sebelahku.
“Rin, Ilham ngeliatin kamu terus tuh dari tadi”.
“Uh masak?” aku melirik ke arah Ilham. Memang sih sesekali dia memang melihatku. “biarin aja wes, ntar juga dia capek sendiri”. Bisikku ke Riyan.
“kayaknya dia masih suka sama kamu. Kamu ingat? Dulu waktu aku bilang ke kamu mau balapan lari sama Ilham dan siapa yang menang bakal dapetin kamu?” Aku mencoba mengingat-ingat kejadian itu.

Flashback.
Aku meminjam buku catatan Sofi karena tadi pagi tidak masuk sekolah. Dia bilang ada murid baru dikelas kami. Waktu itu aku duduk di kelas 5. “anaknya gimana? Pinter gak?” seketika itu yang aku tanyakan ke sofi. Bahaya kalo dia tergolong anak yang cukup pandai, aku punya satu saingan lagi nantinya. “gatau sih, kan baru, tapi tadi disuruh pak misbah ngerjain MTK di depan dia bisa”. Kata Sofi.
Keesokan harinya aku penasaran sekali dengan murid baru itu, dan ternyata dia sudah berangkat lebih dulu daripada aku. Mungkin temen-temenku yang cowok sudah memberi tahu murid baru itu siapa aku. Oiya, aku lupa bilang kalo murid baru itu adalah cowok. Setelah terdengar bisik-bisik diantara teman-teman cowok, murid baru itu menghampiriku “Ririn, aku Riyan”, “Ririn”, sambil menyambut uluran tangannya yang menyalamiku.

Seiring berjalannya waktu aku tau Riyan bukan termasuk anak yang pintar dikelas kami. Kemampuannya biasa-biasa saja. Dan seiring berjalannya waktu, dia mulai menampakkan kenakalannya. Dengan wajah yang lumayan ganteng--meski tidak pintar, mungkin dia bermaksud untuk menggodaku, apakah cewek yang paling pandai dikelas ini tergoda dengan ketampanan teman sekelasnya atau tidak.

Suatu kali ketika pelajaran olahraga, Riyan mendekatiku dan membisikkan sesuatu. “aku mau balapan lari sama Ilham, nanti yang menang otomatis jadi pacar kamu, gimana?”. Sepertinya dia juga sudah tau kalo si Ilham itu naksir sama aku sejak kelas 4, tapi naksirnya dengan cara yang tidak sehat. Jujur dalam hati jika balapan lari itu terjadi aku berharap Riyan lah yang menang, setidaknya aku bebas dari yang namanya Ilham. Karena disukai Ilham itu membuat aku ketakutan sendiri.
Gara-gara bertengkar dengan Arif, Ilham pernah bawa sabit ke sekolah. Serem kan dia?  Tapi, bagaimana jika Ilham yang menang? Bukankah aku seperti menjerumuskan diriku sendiri?
“gimana? Aku yang akan memenangkannya” jawab riyan dengan yakin saat itu.
“Buat apa sih? Aku kan bukan barang yang bisa diperebutkan begitu aja?”. Itu jawaban yang keluar dari mulutku dengan ekspresi marah.
“nanti kalo bukan kamu yang menang gimana?”. Lanjutku dalam hati.
Dan akhirnya balapan lari tersebut gagal dilaksanakan.

Flashback berakhir.

Aku tidak tau yang dilakukan Riyan saat itu, saat dia mau balapan lari sama Ilham, itu karena dia ingin menggoda cewek pintar di kelasnya, karena dia punya tampang yang lumayan atau dia ingin menolong aku yang menderita karena Ilham? Entahlah, Tapi dilihat dari sikapnya sekarang, dia baik, tidak bermaksud menggodaku.  Tapi aku tidak menanyakan tentang itu ke Riyan, toh itu juga masa kanak-kanak kita.
“Ingat?” riyan menyadarkanku yang mengingat-ingat kejadian itu.
“inget inget, serem ya Ilham dulu itu”
“hati-hati lho sepertinya dia belum bisa move on”
Aku melirik ke arah ilham, “duh kok tiba-tiba aku jadi takut gini ya, tolongin dong”
Riyan hanya tersenyum melihat tingkahku.
“nah ini akhirnya datang juga” seru Arif ketika pelayan kafenya mulai mengantarkan pesanan ke meja kita.