Minggu, 09 April 2017

Cuma Mimpi

Siang, panas, macet dan hari senin. Perpaduan yang pas untuk membuat kesal pake banget. Apalagi lama sekali menunggu bus kota lewat. “Aku pengen mabuk kalo liat kendaraan sliweran banyak gini, Sa” ujar temanku Windy yang nantinya akan aku sering panggil kakak. “Tenang kak, aku aslinya ini juga uda bete banget kalo kayak gini”. Oke, kita berdua memang benar-benar membenci kondisi semacam ini saat ini.
Kira-kira lima menit kemudian dari jauh ada bus yang datang, “itu bus nya, kak” kataku yang dari tadi berdiri di halte, karena kalau duduk saja bikin ngantuk. “Iya bener” sahut Windy sambil berdiri dari tempat duduknya membenarkan posisi ranselnya. Bus mendekati kami tapi jalurnya masih di tengah, tidak ke pinggir padahal kita sudah melambai-lambaikan tangan tanda mau naik bus itu. “kok gini sih, gak kayak biasanya” kataku sambil mendekati bus yang mulai berjalan pelan dan ku gedor pintunya yang masih tertutup. “gak di buka-buka lagi” lanjut Windy yang mengikuti di belakangku. Akhirnya pintunya terbuka, dan aku segera menginjakkan kakiku di anak tangga bus lalu masuk beberapa langkah di bus untuk memberi ruang Windy naik. Baru saja Windy naik langsung di gas saja hingga membuat kami kaget. Ku liat di depan ada bapak yang sepertinya juga akan naik bus ini. “Baiklah nanti kalo bapak itu mau naik aku akan mencari tempat duduk” Batinku. Perlu aku katakan bahwa bus ini tidak seperti bus pada umumnya, anak tangga dari pintu menuju tempat duduk tinggi sekali, tapi ada tempat untuk berpegangan saat akan melewati anak tangga itu. Aku dan Windy berada di anak tangga itu, agak minggir takut kalo saja ada yang mau lewat untuk turun. Ketika sampai di tempat bapak tadi, si sopir menghentikan busnya dan membantu si bapak untuk naik. “hello, harusnya membantu kami dulu biar si bapak leluasa lewat” batinku sambil memandang si sopir dengan heran. Lalu ku lihat Windy. Sepertinya dia juga berpikiran yang sama denganku. Akhirnya bapak itu beres, dia sudah duduk di bangku penumpang entah sebelah mana aku tidak melihat. Si sopir memandang kami yang bergelantungan di anak tangga bus sambil tertawa tanpa suara dan kembali ke tempatnya untuk kembali menjalankan busnya. Aku semakin bingung saja. Akhirnya aku dan Windy berusaha sendiri untuk sampai ke tempat duduk. “lihatlah kak, bahkan dia sama sekali gak merasa bersalah” ucapku kesal ketika melewati si sopir dan mulai duduk di tempat duduk belakang sopir karena itu yang kosong. Windy tertawa,  terbahak malah. “lucu ya kita tadi waktu bergelantungan di anak tangga, dengan ekspresi kita tadi, Sa” kata Windy masih sambil tertawa. Aku ikut tertawa juga akhirnya mengingat kejadian barusan tapi hatiku masih kesal. Si sopir menengok ke arah kami, beberapa penumpang yang dekat dengan kami juga. Bodo amat, aku gak peduli dengan mereka semua, toh tadi juga gak ada yang peduli denganku. “Ya ampuun aku kuesel sama sopir ini kak!” kataku lagi. Si sopir menoleh ke arah kami lagi, kali ini dengan tertawa. Biasanya sopir bus antar kota adalah orang yang sudah separuh baya, tapi aku mengakui sopirnya kali ini masih muda banget, masih anak-anak dan belum dewasa sepertinya. Bus yang aku tumpangi ini ber-ac, juga ada headset yang tertempel di tempat duduk kalo kita ingin mendengarkan musik. Daripada bete, kesel aku memakai headset tersebut dan didepan ku lihat mulai macet panjang sekali. “maceet” ucap si sopir sambil meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya lalu menyandarkan kepalanya di kursi. Kemudian dia menoleh ke belakang, mengajak aku dan Windy bercanda. Windy ikut tertawa, tapi aku enggak, masih kesal dengan kejadian tadi. Tapi, ku akui si sopir muda ini selera humornya tinggi, aku sebenarnya juga pengen ikut tertawa, tapi aku diam saja karena rasa kesalku lebih besar. Eh, entah selera humornya yang tinggi atau lugu, beda tipis. Hehe. “Ini lagi, headsetnya sudah banget di taruh kuping” Batinku. Tau kekesalanku gara-gara headset lewat ekspresiku, si sopir itu memakaikan earphone yang di pakainya kepadaku, tanpa bilang apa-apa, dia Cuma tersenyum. “hey, apa-apaan ini?” batinku. Tapi aku masih diam saja, masih kesal. Dan meletakkan kepalaku di besi kecil di depanku yang di bentuk semacam meja. Aku ngantuk, mau tidur. “Sa, orang ini lucu sekali kan?”, kata windy, dia menikmati bercanda dengan si sopir dan sepertinya dia melupakan kejadian menyebalkan kita sepanjang siang ini. “Saaaa” Windy menggoyang-goyangkan lengan tanganku. Aku gak peduli soalnya ngantuk banget dan bete. “ini temennya ngantuk, biarkan dia tidur”. Ku dengar si sopir berucap begitu ketika aku sudah mulai setengah gak sadar, Windy masih mengobrol dengan sopir muda itu dan bus ini masih terjebak macet. Lalu aku tidak tahu apa yang terjadi.
“Sa, bangun, sa.. Sudah mau sampe”.
Aku mengangkat kepalaku, melihat ke luar jendela. Aku tidak tau ini daerah mana, yang penting Windy tau dan tujuan kami pasti, mau ke kost nya si Windy, lalu mendatangi sebuah bimbel untuk aku melamar pekerjaan disana. Kalo cocok sih.
Aku dan Windy adalah mahasiswa semester 5, tapi kita beda universitas dan beda jurusan pula. Aku tidak perlu menyebutkan nama universitas kami.
Ku lihat sopirnya sudah ganti, bapak separuh baya. “kak, sopir yang tadi mana?” ku tanya Windy sambil celingukan ke kursi duduk penumpang. “ternyataa sa, dia yang itu tadi bukan sopir”, “trus?”, “entahlah, penumpang seperti kita mungkin.. Aku juga gak paham”, “emang dia tadi gak cerita ke kamu, kan ngobrol lama tadi”, “enggak, gak bahas itu sama sekali. Cuma pas sampe mall belakang itu tadi, sopir yang ini gantiin dia sambil bilang makasih ke dia”. “owhh. Ini earphonenya gimana?” tanyaku pada Windy. “dia gak pesen apa-apa tadi sama kamu tentang earphone nya?” lanjutku. “enggak tuh, lupa mungkin dia”.
Akhirnya kami turun dari bus dan ganti naik angkutan menuju kostnya Windy. Tidak lama, kira-kira 10 menit kita sudah sampai kost. “alhamdulillah” ucap kita hampir bersamaan ketika memasuki kamarnya Windy. Aku membaringkan tubuhku di kasur, Windy beres beres barangnya. “aku masih kepikiran sama anak muda tadi, kak..”, “siapa? Sopir ganteng tadi? Ciyeee” Windy menggodaku. “maksudku earphone nya ini kak” tapi aku akui dia menyenangkan, tapi juga nyebelin sih” lanjutku tanpa memandang Windy dan hanya melihat langit-langit kamar kostnya Windy. “dia lucu, Sa.. Baik juga” kata Windy. “dari semua rangkaian kejadian yang membuat kita kesal tadi, termasuk dia, tapi dia juga yang memberi kesan menyenangkan kak..” ucapku sambil tertawa. Windy berbaring di sebelahku. “entah kenapa, Aku ingin ketemu dia lagi kak” ucapku sambil menoleh ke Windy. Yang diajak ngobrol Cuma tersenyum.
Keesokan harinya, di Excellent bimbingan belajar.
Aku berjalan-jalan di ruangan bimbel ini bersama Windy. Tadi aku sudah interview dan peluang untuk di terima cukup besar, sepertinya. Karena bimbel ini sedang benar-benar membutuhkan tenaga kerja. Apalagi, Windy juga sudah mengajar di bimbel ini juga. “hallo mbak”, sapa seorang pemuda ketika aku berjalan melewati lorong ruangan. Aku menoleh.. “kamu?” entah kenapa aku tiba-tiba tersenyum, padahal aku belum yakin ingatanku tentang orang ini benar atau tidak. Aku ingin memastikan dengan Windy bahwa dia ini si sopir kemaren siang itu, tapi Windy masih berada lumayan ajuh di belakangku, mengobrol dengan entah siapa. “kamuu, sopir bus kemaren itu kan?” “hehehe iya mbak”, “earphone mu kebawa sama aku.. Kamu ikut bimbel disini? Besok aku anter kesini ya”, “aduuh mbak, gak papa, buat mbak aja”. Katanya. Windy mendekati kami, dia terkejut juga “looh” Cuma itu yang di ucapkan. “hai mbak, pemuda itu melambaikan tangan ke Windy yang masih gak yakin juga”. “duluan ya mbak, uda di tunggu”. Dia berlalu.
Dari sebuah jendela kaca, Windy melihat sesuatu. Dia berlari ke arahku. “Sa, Sa, sini deh.. Katanya sambil menarik lenganku. “apaan?” tanyaku mengikutinya. “cowok itu sa, cowok itu, kayaknya dia anaknya bu rani deh” dia menunjuk ke halaman parkir dan disana ada pemuda yang kemaren jadi sopir bus dan seorang perempuan paruh baya. “ bu rani? Bu rani siapa?” tanyaku, “bu rani, ibu yang aku les in bhs inggris soalnya cucunya yang di singapore kalo ngomong pake bhs inggris. Liat tu, cowok itu sama bu rani, gak mungkin kan kalo gebetannya bu rani?” Windy masih ngomong panjang lebar sambil melihat ke halaman parkir, aku juga ikut melihat ke halaman parkir. Pemuda itu, dan mungkin ibu yang di panggil oleh Windy bu rani, masuk ke sebuah mobil, lalu mobil itu mulaj melaju meninggalkan halaman parkir. “jadi, kamu mau kan ngajar disini?” tanya windy ketika mobil itu sudah berlalu. “iissshh” aku Cuma tertawa. Dan aku tiba-tiba bahagia.
*cerita ini di adaptasi dari mimpi di siang bolong. Makanya ceritanya juga agak gak jelas. 