Minggu, 13 Maret 2016

Menyederhanakan Cita-cita

Dulu sewaktu kecil, ketika ditanya tentang cita-cita, banyak dari kita yang menjawab ingin menjadi dokter, pilot, pramugari, astronot, polisi dan sebagainya. Ketika SMP kita sudah mulai bisa berfikir seperti “gimana mau jadi dokter kalau baru melihat darah saja sudah takut?” atau “tinggiku sepertinya tidak memungkinkan untuk menjadi pramugari”  atau “aku tidak ingin menjadi dokter, aku ingin menjadi guru saja karena menjadi guru itu lebih enak” dsb. Semakin tinggi sekolah, cita-cita menjadi lebih sederhana dan disesuaikan dengan bakat dan hobi yang dimiliki. Misalnya, ketika SMA suka dengan anak-anak kecil sehingga ingin menjadi guru, punya hobi melukis sehingga ingin menjadi pelukis dsb. Atau, sudah mulai berfikir logis seperti,” aku ingin menjadi guru, ingin mengajari anak didikku agar bisa membaca dan menulis, biar dapat pahala yang terus mengalir kalo besok akhirnya anak didikku menjadi anak yang terpelajar”. Hingga ketika kuliah, cita-cita menjadi sangat sederhana lagi, ingin menyelesaikan skripsi dan lulus tepat waktu, berapapun nilainya sudah tidak penting, yang penting lulus, mengingat sulitnya kalau mau bimbingan dan banyaknya revisi. Hehehe. Tentu saja itu bercanda, untuk anak-anak yang menempuh kuliah biasanya cita-citanya adalah setelah lulus langsung bisa dapat kerja, apapun itu. Meskipun tidak linear dengan jurusan yang telah dipilih sebelumnya. Yang penting dapat kerja, mengingat susahnya mencari pekerjaan. Daripada jadi pengangguran?

Mungkin alurnya memang seperti itu, ketika sudah dewasa semua bisa saja berubah. Yang dulu bercita-cita menjadi pelukis, ternyata setelah lulus kuliah di terima kerja di bank. Siapa tau?? Seakan ketika tumbuh dewasa seseorang hanya perlu berkomitmen dalam bekerja untuk mempunyai penghidupan yang layak.

Begitupun denganku, dulu aku juga punya cita-cita yang muluk, dan juga  menjadi semakin sederhana seiring aku bertambah dewasa. Beberapa bulan yang lalu, setelah lulus kuliah aku berencana untuk menetap di Surabaya dan mencari kerja menjadi guru disana (karena cita-citaku ingin menjadi guru) dan melanjutkan S2. Tapi ternyata Tuhan berencana lain, Dia mempertemukanku dengan beberapa kejadian yang memaksaku untuk tinggal di rumah (sementara) setelah lulus kuliah. Hingga akhirnya orang tua menghimbau agar aku tinggal di rumah saja dan tidak usah kembali ke Surabaya. Berat? Tentu saja. Shock? Iya. Tapi akhirnya ku turuti juga permintaan orang tuaku itu. Aku positive thinking saja bahwa ini memang sudah waktunya aku berbakti kepada orang tua setelah 10 tahun merantau, ada banyak hal juga yang harus aku pelajari dan perbaiki di kampung halaman agar aku menjadi lebih baik, juga dengan harapan semoga kampung halamanku menjadi lebih baik dengan pengalaman yang aku bawa dari Surabaya. 
Aku menyadari itu semua, bahwa aku tidak melulu harus menuruti ego dan ambisiku. Cita-citaku menjadi lebih sederhana sekarang, ingin bermanfaat di kampung halaman. Bahkan saat ini, ketika ditanya tentang ingin melanjutkan ke S2 atau tidak, aku lebih memilih untuk mencari pengalaman kerja dulu, meskipun cita-cita untuk melanjutkan S2 masih ada.

Begitulah, meskipun cita-cita menjadi semakin sederhana, bukan berarti kita gagal menggapai cita-cita kita, bukan berarti kita tidak kuat untuk mewujudkan cita-cita atau mimpi-mimpi kita. Tapi, kita mempertimbangkan hal-hal yang lebih bermanfaat yang ada di lingkungan sekitar kita, dan berusaha untuk membantu memperbaikinya. Bukankah sebaik-baik kita adalah yang bermanfaat untuk orang lain? Pun, ketika kita bisa membuat orang lain bahagia, kita sendiri juga akan ikut merasa bahagia. So, jangan pernah gengsi ketika kamu harus menyederhanakan cita-cita atau mimpi!! :))