Sabtu, 10 Desember 2016

Taruhan Balapan Lari

Cerbung: Kepingan Memori yang Kembali Part 2

Kencana cafe, 10.37 a.m

Sambil menunggu pesanan datang kami mengobrol tanpa topik. Enaknya bertemu teman lama itu kita bisa belajar banyak pengalaman yang berbeda-beda dari mereka, tentunya lewat cerita mereka. Yes, this is not only a reunited but also sharing experiences. Misalnya, yang masih belom menikah nanya-nanya sama yang sudah menikah tentang gimana rasanya menikah, kehidupan setelah menikah, yang tidak kuliah tanya kuliah itu gimana, yang sudah bekerja menjelaskan dunia kerja itu bagaimana. Bagi-bagi ilmu dengan teman-teman lah intinya. Duh kencana kafe jadi rame sekali gara-gara rombongan kita datang.
“Wil, kamu masih jomblo gak? Sofi jomblo nih, sapa tau kalian bisa jadian” Arif mulai membuat lelucon. Tapi Sofi yang merasa tidak terima dengan ucapan Arif memukul dengan keras lengan Arif.
“Hahaha rasain loe” ungkapku menyetujui apa yang dilakukan Sofi.
“Sepertinya aku bukan tipenya Sofi” ujar wildan sambil menunduk, sok sedih. Ekspresinya dia dapat sekali. Hahaa
“Tipenya Sofi pasti yang otaknya main, trus juga hobi olahraga, iya gak, Sof?” Fatih menimpali.
“yang soleh, yang gahool, yang terpelajar” Sofi menjawab sambil mikir kriteria cowok idamannya.
“aku banget itu” Riyan menyahut.
Semuanya tertawa. Jelas-jelas Riyan tidak nyantol sama sekali di kriteria yang diucapkan Sofi tadi.

Sebenarnya aku menyimpan sejuta rasa penasaran dengan Fatih. Tapi, belum ada topik yang bisa menjadikanku ngomong dengannya. Keadaannya masih beku. Dan aku gak berani untuk menyapa dia duluan. "Tanyain gue kek, tih..." Aku membatin. Aku bernafas kesal dan mulai menghitung mundur sampe seberapa lama aku dan Fatih akan sama-sama tidak saling mengenal.

Percuma nungguin Fatih ngomong sama aku, justru Riyan yang mengajakku bicara. Kebetulan dia duduk di sebelahku.
“Rin, Ilham ngeliatin kamu terus tuh dari tadi”.
“Uh masak?” aku melirik ke arah Ilham. Memang sih sesekali dia memang melihatku. “biarin aja wes, ntar juga dia capek sendiri”. Bisikku ke Riyan.
“kayaknya dia masih suka sama kamu. Kamu ingat? Dulu waktu aku bilang ke kamu mau balapan lari sama Ilham dan siapa yang menang bakal dapetin kamu?” Aku mencoba mengingat-ingat kejadian itu.

Flashback.
Aku meminjam buku catatan Sofi karena tadi pagi tidak masuk sekolah. Dia bilang ada murid baru dikelas kami. Waktu itu aku duduk di kelas 5. “anaknya gimana? Pinter gak?” seketika itu yang aku tanyakan ke sofi. Bahaya kalo dia tergolong anak yang cukup pandai, aku punya satu saingan lagi nantinya. “gatau sih, kan baru, tapi tadi disuruh pak misbah ngerjain MTK di depan dia bisa”. Kata Sofi.
Keesokan harinya aku penasaran sekali dengan murid baru itu, dan ternyata dia sudah berangkat lebih dulu daripada aku. Mungkin temen-temenku yang cowok sudah memberi tahu murid baru itu siapa aku. Oiya, aku lupa bilang kalo murid baru itu adalah cowok. Setelah terdengar bisik-bisik diantara teman-teman cowok, murid baru itu menghampiriku “Ririn, aku Riyan”, “Ririn”, sambil menyambut uluran tangannya yang menyalamiku.

Seiring berjalannya waktu aku tau Riyan bukan termasuk anak yang pintar dikelas kami. Kemampuannya biasa-biasa saja. Dan seiring berjalannya waktu, dia mulai menampakkan kenakalannya. Dengan wajah yang lumayan ganteng--meski tidak pintar, mungkin dia bermaksud untuk menggodaku, apakah cewek yang paling pandai dikelas ini tergoda dengan ketampanan teman sekelasnya atau tidak.

Suatu kali ketika pelajaran olahraga, Riyan mendekatiku dan membisikkan sesuatu. “aku mau balapan lari sama Ilham, nanti yang menang otomatis jadi pacar kamu, gimana?”. Sepertinya dia juga sudah tau kalo si Ilham itu naksir sama aku sejak kelas 4, tapi naksirnya dengan cara yang tidak sehat. Jujur dalam hati jika balapan lari itu terjadi aku berharap Riyan lah yang menang, setidaknya aku bebas dari yang namanya Ilham. Karena disukai Ilham itu membuat aku ketakutan sendiri.
Gara-gara bertengkar dengan Arif, Ilham pernah bawa sabit ke sekolah. Serem kan dia?  Tapi, bagaimana jika Ilham yang menang? Bukankah aku seperti menjerumuskan diriku sendiri?
“gimana? Aku yang akan memenangkannya” jawab riyan dengan yakin saat itu.
“Buat apa sih? Aku kan bukan barang yang bisa diperebutkan begitu aja?”. Itu jawaban yang keluar dari mulutku dengan ekspresi marah.
“nanti kalo bukan kamu yang menang gimana?”. Lanjutku dalam hati.
Dan akhirnya balapan lari tersebut gagal dilaksanakan.

Flashback berakhir.

Aku tidak tau yang dilakukan Riyan saat itu, saat dia mau balapan lari sama Ilham, itu karena dia ingin menggoda cewek pintar di kelasnya, karena dia punya tampang yang lumayan atau dia ingin menolong aku yang menderita karena Ilham? Entahlah, Tapi dilihat dari sikapnya sekarang, dia baik, tidak bermaksud menggodaku.  Tapi aku tidak menanyakan tentang itu ke Riyan, toh itu juga masa kanak-kanak kita.
“Ingat?” riyan menyadarkanku yang mengingat-ingat kejadian itu.
“inget inget, serem ya Ilham dulu itu”
“hati-hati lho sepertinya dia belum bisa move on”
Aku melirik ke arah ilham, “duh kok tiba-tiba aku jadi takut gini ya, tolongin dong”
Riyan hanya tersenyum melihat tingkahku.
“nah ini akhirnya datang juga” seru Arif ketika pelayan kafenya mulai mengantarkan pesanan ke meja kita.

Senin, 28 November 2016

Mereka dan Cita-citanya

Hari ini sebenarnya sedang badmood sekali, tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah berdoa semoga tidak ada guru yang absen jadi aku bisa bebas tugas, tapi yang terjadi justru malah sebaliknya. Ya, senin adalah MONster DAY, dan punya piket jaga pas hari senin juga sering banyak kerjanya daripada free nya. Tapi, tadi badmoodku mendadak hilang ketika masuk kelas 4, entahlah... Aku suka melihat kekompakan anak-anak kelas 4 MI ini. Mereka kompak menata ruang kelas menjadi se-kreatif mungkin, membuat dan menjalankan aturan kelas sesuai kesepakatan mereka, melakukan sesuatu ketika pelajaran kosong--seperti menggambar, diskusi atau sekedar ngobrol, dan kompak membangkang bersama-sama. Yang terakhir tidak menyenangkan didengar memang. Hehee. Meskipun begitu, kelas yang berisi 19 anak  ini rata-rata tergolong cukup pintar dan mudah faham untuk menerima pelajaran.

Setelah membahas sedikit materi di LKS, entah kenapa tiba-tiba pembicaraan kita menjadi tentang cita-cita, karena masih ada waktu yang agak lama sebelum jam istirahat, akhirnya aku gunakan untuk bertanya tentang cita-cita mereka. Jawaban mereka bermacam- macam, ada yang ingin menjadi dokter, polisi, kyai, pejabat, guru dan lain-lain. Ahya namanya, cowok yang selalu mendapat peringkat 1 dikelasnya itu bercita-cita ingin menjadi DPR, menurutku dia menjawab seperti itu karena ayahnya saat ini menjabat sebagai DPR Daerah. Lalu Avin, cowok yang gak kalah pintar plus paling ganteng, awalnya dia bingung mau jawab apa ketika ku tanya tentang cita-citanya, setelah mendengar jawaban Ahya, dia mengangkat tangannya lalu bilang, “bu, cita-citaku ingin menjadi guru”. Seperti Ahya, mungkin dia ingin menjadi guru karena saat ini ayahnya adalah seorang kepala sekolah di sebuah Sekolah Menengah Pertama.
Satu hal yang membuatku bahagia ketika mendengar  cita-cita anak-anak kelas 4 ini. Meskipun mayoritas pekerjaan orang tua mereka adalah petani, tapi mereka mempunyai cita-cita yang tinggi.
Ada satu anak yang menjawab berbeda tadi, ketika aku bertanya cita-citanya apa, dia menjawab polos ingin menjadi penjual ikan bandeng. “loh, kenapa ingin menjadi penjualnya? Kenapa bukan menjadi bos nya saja?” tanyaku. Lalu, aku maju ke depan dan berkata kepada semuanya bahwa cita-cita itu harus yang tinggi, karena cita-cita adalah doa. Lalu anak yang awalnya bercita-cita ingin menjadi penjual bandeng tadi berkata lagi, “bu, bu... Iya bu, aku ingin menjadi bos nya para penjual ikan bandeng”. Aku tersenyum dan mengarahkan jempol kananku kepadanya yang waktu itu duduk dibangku belakang.

Seketika aku teringat tentang cita-cita Ahya dan Avin, “nak, mungkin saat ini kalian bercita-cita ingin menjadi seperti orang tua kalian, tapi suatu saat kalian akan tau bahwa cita-cita kalian adalah milik kalian, bukan atas rasa ingin meniru orang tua kalian. Suatu saat nanti, kalian akan sadar cita-cita sejati kalian...” batinku. “bu, istirahat”, suara seorang siswa membuyarkan lamunanku. Sebelum membiarkan mereka keluar kelas, ku beri mereka sedikit nasehat tentang manfaat cita-cita yang telah mereka sampaikan agar mereka menjadi lebih giat belajar untuk menggapai cita-cita mereka.

Good luck, guys :)

Sabtu, 08 Oktober 2016

My Saturday Night

Memang, taman kota ini selalu ramai di malam hari, khususnya ketika weekend seperti ini. Aku duduk di bawah sebuah pohon yang tak terlalu besar yang berada tak jauh dari taman itu. Sendirian? Tentu saja!
Ku pandangi keadaan di sekitarku, di dekat air mancur yang tak jauh dari tempatku duduk, ku lihat sepasang muda mudi sedang asyik bercanda, terlihat sekali rona merah pipi si gadis, mungkin pria-nya pandai sekali menggombalinya, agak jauh dari air mancur terlihat sepasang kekasih sedang bergandengan tangan, si cewek dengan kaos feminim, hot pants dan topi miring, si cowok dengan kaos oblong dan celana jeans, di depan mereka ada segerombolan orang-orang yang sedang menonton atraksi dance battle, dan sepertinya cewek itu juga anggota dance battle itu. Di sisi lain, di sebelah kananku ada segerombolan remaja, putra putri yang sedang asyik bercengkerama, berdiskusi entah apa, lalu ku lihat sepasang cewek sedang berjalan dari tempat parkir, satu dari mereka sedang asyik dengan handphonenya hingga mengabaikan teman yang berada disebelahnya yang sedang bercerita, mungkin mereka adalah korban LDR, di seberang jalan, di sebuah kafe kecil, dari balik jendela kaca terlihat sosok lelaki dan perempuan yang sedang menikmati minumnya, si perempuan tampak anggun dengan hijab syar’i nya, aku yakin mereka bukan pasanan suami istri, karena ku lihat sesekali masing-masing dari mereka menundukkan kepala untuk menjaga pandangan.
Ahh kenapa taman ini kebanyakan berisi orang-orang yang berpasangan? Aku mengusap mukaku dengan kedua tangan. Malam ini aku memutuskan datang ke tempat ini bermaksud untuk menenangkan pikiranku dari beberapa hal yang menggangguku, teman kost yang nyebelin, tugas yang menumpuk, hingga perasaan hati. Tapi aku gak menyesal datang ke tempat yang dipenuhi dengan orang yang berpasangan ini, meskipun aku tidak membawa pasangan, karena yang terpenting bagiku sekarang adalah aku bisa keluar dari asrama--untuk menghirup udara kebebasan, melupakan tugas sejenak dan mengembalikan mood yang sedang berantakan.
Meskipun disini aku juga tidak melakukan apa-apa, setidaknya aku bisa bahagia, because I create my own happiness.

Sabtu, 23 Juli 2016

Marry Your Daughter

Cerpen. Dari sudut pandang seorang lelaki. Fiksi.
Terinspirasi setelah memutar lagu Marry YourDaughter-nya Brian Mcknight.


Aku melihat-lihat box kecil merah yang ada di tanganku, buka-tutup, buka-tutup, buka lagi, tutup lagi, sambil sesekali melihat isinya. Kapan aku berani melamarmu? Batinku.

###

“Vin, tungguin dong..”
“Makanya kalo jalan jangan kayak kura-kura”
“Bantuin bawa gitu kek, berat ini tas nya” sahutnya mulai kesal.
Aku yang sudah beberapa meter berada di depannya kembali mundur dan menghampirinya, “sini tas nya”. Aku gak bermaksud apa-apa, cuma sebagai lelaki mana tega ku biarkan cewek yang kepayahan dengan ransel di punggungnya, tas jinjing besar di tangan kanannya dan kantong plastik ukuran sedang di tangan kirinya? Apalagi meninggalkannya jalan sendirian waktu malam begini sedangkan dia tinggal di asrama yang sama denganku dan aku adalah orang terdekatnya (saat itu) karena kita berasal dari kota yang sama. 

Aku tersenyum sendiri teringat kejadian 3 tahun yang lalu itu, ketika kita masih sama-sama mahasiswa baru. Setelah itu kita tidak pernah bertemu lagi, sampai sekitar sebulan yang lalu tanpa sengaja kita dipertemukan kembali. Di depan gedung fakultasku, dia memanggil namaku dengan nada dan panggilan khas nya sambil melambaikan tangannya ke arahku.
“Ngapain disini?” tanyaku menghampirinya.
“Nungguin temen, mau ngembaliin ini” dia mengangkat sebuah buku dari tangannya.
“Sumpah yaa sekarang tambah gemuk begini.. Kemarin KKN dimana?”  lanjutnya.
“Magetan. Kamu?”
“Kediri” jawabnya tersenyum. And it's the first time I realize that she has a sweet smile. Really!
“Gak pulkam?” pertanyaannya menyadarkan diriku kembali.
“paling bentar lagi. Kamu? Ini mau pulkam?” aku mulai menebak.
“Hu'um” dia tersenyum lagi.
“Mau dianterin? Sampe terminal?” entah kenapa kalimat itu yang terucap dari mulutku.
“Hahaa gausah kali, uda biasa sendiri”
“Eh, nomer kamu masih yang dulu kan?” Sialan! Stupid question again. Batinku.
“Bisa jadi, soalnya gak pernah ganti sih” katanya.

###

Siapa bilang cowok tidak pernah galau, tidak pernah patah hati? Kita para cowok sebenarnya juga sedih ketika tiba-tiba ditinggalkan kekasih begitu saja, apalagi untuk menikah dengan laki-laki lain, cuma kita tidak pandai menunjukkan kesedihan tersebut. Rasanya hatiku seperti dibanting dan pecah berkeping-keping ketika kekasihku melakukan hal itu padaku. Aku pernah down beberapa hari tapi aku memilih bangkit dan melanjutkan hidup.

Tapi berkat patah hati, aku telah mencapai puncak gunung beberapa kali. Ya, itu salah satu pelampiasanku agar aku tetap bahagia. Hal yang paling menarik menurutku dari sebuah pendakian adalah, aku bisa melihat ke Maha Kuasa an Tuhan yang membuat aku berdecak kagum berkali-kalidan  dan juga membuatku menangisi dosa-dosaku dan rendahnya diri ini ditengah ke Maha Kuasa an Tuhan. Lalu aku mulai berfikir, kenapa aku harus sedih dengan masalah kecil  seperti ini ketika aku punya Tuhan yang Maha Besar dan Maha Kuasa?

Pada suatu sore aku ke pantai dekat rumah untuk menikmati sunset dan membuang galau yang sesekali masih datang menghampiri setelah patah hati, eh, lebih dari patah hati.. Hancur. Aku sebenarnya tidak terlalu suka pantai atau laut, aku lebih suka gunung. Tapi, tiba-tiba aku menjadi suka pantai dan sunset sore itu, cuma sore itu.. Karena ada momen menarik.

Gita, ya, ku lihat gadis itu disini juga, sepertinya dengan keluarganya. Ada 5 orang. Cowok 1, 3 cewek lainnya seumuran Gita—sepertinya, dan 1 ibu yang duduk di kursi roda. Ku perhatikan dari jauh, ketika yang lainnya asik berfoto, Gita malah tidak pernah jauh dari ibu yang ada di kursi roda tersebut. Sesekali dia menyuapi makanan dan mengelap sisa makanan di sekitar mulut ibu itu. Meskipun begitu tapi dia terlihat bahagia. Satu hal yang aku sadari saat itu, bahwa bahagia itu bermacam-macam bentuknya, ada yang begitu bahagia ketika berfoto-foto ria, ada juga yang bahagia ketika melihat orang lain bahagia.
Entah itu nilai plus untuk dia yang ke berapa, setelah terakhir aku memberinya nilai plus lagi karena dia telah menemaniku bangun dini hari menonton klub sepak bola favoritku main. Meskipun dia banyak komentar , “Courtuis itu cakep yaa...” sampai “yang nomer punggung  9 itu siapa sih? Curang banget mainnya” dsb. But, I like being awake with her. Keakraban yang baru terjalin satu bulan ini perlahan mengobati patah hatiku. 

Does she feel it?

###

“bro, Karin tuh.. Kemarin dia wa gue, dan dilihat dari gelagatnya sepertinya dia ingin balikan sama loe” Doni menepuk bahuku ketika orang yang dibicarakan menuju tempat parkir fakultas.
“males lah”
“hei, loe harus move on, bro, move on. Loe harus buktiin ke Wirda kalo loe itu strong, meskipun dia ninggalin loe dan memilih menikah dengan orang lain. Lagian, apa kurangnya loe sih, sudah pantaslah buat jadi imam. Heran gue kadang sama si Wirda itu”. Terlihat jelas kekesalan Doni di kalimat terakhirnya.
“Iya, aku bakal buktiin itu”
“serius? Ke Wirda?”
“yap”
“wih mantap.. Jadi, loe beneran bakal balikan sama Karin?”
“ya gak Karin juga kali... Loe lihat aja besok”

###

Belakangan ini, aku berfikir untuk langsung melamarnya. Ini bukan waktunya untuk main-main lagi dengan perasaan. Dan rencanaku sudah bulat, aku harus melamarnya, segera!
Siang itu langit cerah sekali. Aku mengendarai motorku untuk mengejar masa depan. Tak lupa ku bawa box merah yang sudah tidak tersembunyi manis di laci lemari, karena akhir-akhir ini aku sering mengeluarkannya dari tempat persembunyiannya. Semoga jawaban yang akan aku dapatkan juga secerah langit siang ini, dan cincin ini pas dan cocok terpasang di jari manisnya meskipun aku membelinya tanpa ukuran. 

Gang orange, 57 dukuh kawal.

Aku bernafas berat, bismillah... Laa haula wa laa quwwata illa billah.
“assalamualaikum” ucapku akhirnya.
Seorang pria menjawab salam dan menuju pintu. “mencari siapa, nak?”
“saya temannya Gita, pak...”
“oh....”
“tapi saya ada urusan dengan bapak” potongku sebelum bapak itu melanjutkan perkataannya. Gila! Badanku tiba-tiba panas dingin begini.
“dengan saya?” bapak itu memastikan apa yang aku katakan dan mulai terlihat khawatir.
“iya, pak” aku mengangguk.
“baiklah, silahkan masuk”.

Jarak antara pintu dan ruang tamu tidak jauh,kira-kira hanya 3 meter, tapi telah membuat langkahku terasa berat sekali. Aku grogi gak karuan. Tanganku panas dingin dan keringat di punggungku terasa mengalir. Aku tidak pernah senervous ini sebelumnya.

“ada apa dengan anak saya, nak”
“sebelumnya saya minta maaf karena saya grogi sekali saat ini. Maka maafkan jika nanti saya akan menyita banyak waktu bapak. Pak, saya Avicena Muhammad, saya menyukai putri bapak, Anggita Larasati. Dan saya bermaksud untuk melamar putri bapak.”
---------------
---------------
---------------
---------------

###

Kata bapak, kamu tadi ke rumah ya? (19.07)
Iya, trus? (19.10)
Bapak tadi bilang katanya kamu..... Kamu sehat gak sih? (19.11)
Bapakmu bilang katanya aku kenapa? Ganteng ya? ;-) (19.11)
ih, pede.. Kayaknya kamu mulai gak waras deh.. (19.12)
Aku serius, Git.. Jadi, kamu gimana? (19.12)
Kata bapakmu semua di serahkan kepadamu,
karena kamu yang akan menjalani
Dan kata bapakmu juga kamu lebih tau siapa aku daripada bapakmu (19.13)
Semoga jawabanmu tidak mengecewakanku, Git (19.16)
Vin.... (19.17)
Iya, Git? Duh kenapa aku deg-degan sekali begini? (19.17)
Vin, kamu serius? (19.17)
I swear to you with all of my heart, Git (19.18)
Kamu tau kan aku orangnya gimana?
Banyak kekuranganku.. (19.19)
Aku tau (19.19)
Trus? (19.20)
Dan aku tetap memilihmu (19.20)
Kenapa? (19.20)
Karena aku nyaman sama kamu.. (19.21)
Itu saja? (19.21)
Sebenarnya tidak, bahkan aku mencintaimu tanpa alasan,
mencintaimu apa adanya
You’re my everything, Git.. (19.23)
Kamu nanya-nanya terus, jadi jawabanmu gimana? (19.24)
Aku.... (19.25)
Gitaa, please...  (19.25)

Aku mulai deg-degan menunggu jawaban Gita. Ku lemparkan handphone ku keatas bantal. Aku takut membuka pesan selanjutnya.
Tuing-tuing, nada notifikasi wa ku berbunyi. Dengan berat tapi penasaran ku ambil handphone ku dank u tekan tombol power, nama Gita muncul disana. Bismillah… ucapku lirih.

Rasanya keberanianmu datang kesini dengan sepenuh hati dan bilang ke bapak akan tujuanmu,
tidak layak untuk ditolak, Vin J (19.28)

So, will you marry me? (19.30)
Yes, sure.. J


Tiba-tiba saja aku merasa menjadi orang paling bahagia di dunia. Aku membaringkan tubuhku di tempat tidur, tersenyum. Sayup-sayup ku dengar lagu Marry Your Daughter mengalun lembut dari laptop di meja kamarku.

She’ll be the most beautiful bride that I’ve ever seen
Can’t wait to smile
When she walks down the aisle
On the arm of her father, and the day that I marry your daughter

Terima kasih, Git. Ucapku lirih.

###

Pagi, Git… tiba-tiba aku inget wajah kesalmu ketika pulang dari LDK dulu :v :v
Cewek kecil bawa ransel gede, tas gede di tangan kanan-kiri :v
Tapi aku suka sama dia *titik dua bintang*  (05.46)
Aviiiin.... :3
Kamu masih inget kejadian itu?
Maluu ih X_X (06.05)

Masih Git, the first time kita kenal.. lalu dekat (?) J (06.09)
Aaaand you should know that at that first time I’ve fallen in love with you.
Itu rahasia yang tidak kamu tau Vin.. J (06.15)
Really? Pantesan kemaren kamu langsung nerima aku hehehe
Aku sangat senang mengetahuinya, Git
Aaand I’m also falling in love with you from now and forever (06.16)
Ingat waktu kita dancing in the rain in that December?
Waktu LDK? Di suatu sore sehari sebelum kita balik kampus?
Waktu itu kelompokmu sampingan sama kelompokku, and I really enjoy dancing while… sesekali ngeliatin kamu. (06.20)
Masyaallah Git,  maaf aku gak sadar tentang itu.. (06.21)
Aku janji, mulai sekarang aku akan ada untukmu, Git (06.22)
Aku percaya sama kamu, Vin… (06.22)
Makasih ya *titik dua bintang*(06.23)
*titik dua bintang* (06.24)


Titik dua bintang, jika ditulis di chat akan berubah menjadi emoticon cium. Tapi Gita tidak mau kita asal-asalan kalau menggunakan emoticon. Katanya, dia kadang geli sendiri, makanya kita mengganti emoticon cium dengan titik dua bintang. Gita mengajarkanku cara menjalin hubungan yang tidak alay. Dia tidak minta dipanggil sayang atau apa, dan kita setuju panggilan sayang kita adalah, “Gita (aku memanggilnya) dan Avin (dia memanggilku)".


Oiya, namaku Avicena Muhammad, biasanya dipanggil Avis. Tapi dari awal ketemu Gita, hanya dia yang manggil aku Avin. 

Selesai. 

Jumat, 22 Juli 2016

Semangat Pertama Sekolah

Hari ini adalah hari kedua masuk sekolah tahun ajaran baru. Seperti kemarin, hari ini aku mengantarkan anak pertamaku ke sekolah TK. Demi dia aku rela cuti kerja seminggu untuk menemaninya berada di lingkungan baru, sekolah. Sama seperti orang tua-orang tua lainnya.

“Bunda, besok kakak gausah ditungguin lagi kalo sekolah, kakak kan uda besar, uda berani disekolah sendiri, jadi bunda tetap bisa kerja seperti biasa”, kata anakku ketika kita memasuki gerbang sekolah. Aku terharu dengan yang diucapkannya, lalu ku rendahkan badanku mensejajarkan mataku dengan matanya dan menatapnya lembut, “kakak tidak apa-apa kalo tidak ditemenin bunda? sudah berani kalo ditinggal bunda?” kataku sambil membelai kerudung birunya. Dia mengangguk. “kakak kan bisa main sama teman-teman disitu bunda”, katanya sambil menunjuk ke ayunan, jungkat-jungkit dan mainan-mainan lainnya yang berada di depan kelasnya. “kakak juga punya bunda-bunda yang baik dan cantik (baca: Guru-guru TK)”, lanjutnya. Aku tersenyum, dia juga. Lalu disalaminya tanganku, “assalamualaikum, bunda…”, “wa’alaikumsalam, sayang”, jawaban salamku mengiringinya berlari bergabung bersama teman-temannya ditempat bermain. Dari kejauhan, kulihat dia tertawa ceria bermain dengan teman-teman barunya. Ternyata dia mudah bergaul dengan orang-orang baru disekitarnya, sama seperti ayahnya. Aku tersenyum.


Sebelum masuk kelas, bunda-bunda TK mengumpulkan semua siswa di lapangan. Ketika siswa baru diminta untuk memperkenalkan dirinya didepan-seperti yang dicontohkan bunda sebelumnya, dengan percaya diri anakku mengangkat tangan tinggi-tinggi lalu maju ke depan dan berbicara lantang, "halo teman-teman, nama saya Ann, Annelies Mellema Hermawan". :)) 




*Ditulis dari lantai 2 asrama Annur, terinspirasi ketika mendengar adik-adik TK Unggulan Annur berkenalan dengan Bunda dan teman-temannya di halaman sekolah. 

*telat diposting karena sempat jatuh sakit beberapa hari :)

Jumat, 06 Mei 2016

Karena Setiap Tempat Punya Cerita

Setiap datang ke taman kota, aku selalu teringat kamu. Iya kamu! Temanku di sosial media, dan baru sekali bertatap muka sebelum akhirnya kau menghilang dari sosial media dan memutus kontak denganku.

Waktu itu aku tersesat, bingung mencari tempat yang kau tentukan dimana kita akan bertemu. Maklumlah, aku orangnya susah menghafal jalan. Hingga akhirnya kau yang nyamperin aku. Dengan telepon masih di telinga waktu itu aku bilang, “aku di depan museum sekarang, jadi aku harus kemana lagi?” kataku sambil melihat-lihat sekitarku. Dan kira-kira tiga meter dari belakangku, dengan telepon masih di telingamu juga kamu menjawab, “padahal di hometown sendiri, gimana bisa gak hafal jalanan-jalanannya”. Aku menoleh, tersenyum. Kamu memasukkan handphone mu ke saku, dan aku melakukan hal yang sama. “gimana kamu bisa mengenali aku?” tanyaku bodoh. “pertama, kamu kan tadi bilang berada di depan museum. Kedua, suaramu kalo lagi telfon keras sekali. Ketiga, kamu gak beda jauh dengan foto-foto di profilmu”. Aku tersipu mendengar alasan ketiga. “iya dong, kan tanpa efek photoshop”. Lalu kita pun tertawa. Padahal itu pertama kali nya kita bertatap muka, tapi serasa kita sudah kenal lama. Maka setidaknya kita harus berterimakasih pada kecanggihan teknologi, bisa mendekatkan orang yang jauh, bahkan mengenalkan orang yang belum kenal sebelumnya.

Lalu kau mengajakku berjalan-jalan di taman kota, bercerita tentang apapun, mulai dari perjalananku dari Surabaya, hingga candaan-candaan lainnya.“Jadi, kamu benar-benar belum pernah kesini?” tanyamu saat itu. “iya, emang kenapa?”. “sayang sekali”. “kok sayang sekali?”. “yuk, duduk di sebelah sana”. Dia menunjuk ke sebuah bangku panjang dibawah pohon yang rindang dan enggan menjelaskan padaku maksud kalimat “sayang sekali” nya itu. Satu hal yang aku sadari, saat itu tak ku lihat dirimu yang selalu jaga image, kau sangat welcome, asyik diajak ngobrol, dan pemikir sepertinya.


Ya. Aku masih ingat semuanya, semua tempat yang pernah kita lewati di sekitar taman kota ini, bahkan rasanya senyummu masih tertinggal disana. 

Sabtu, 09 April 2016

Aku Ini Kenapa?

Cerbung: Kepingan Memori Yang Kembali
Part 1

Ririn?” suara seorang cowok memanggil namaku ketika aku keluar dari sebuah toko. Beberapa detik aku memandang wajahnya dan mencoba mengenalinya, “emm... Riyan ya?” ucapku mencoba menebak namanya. “Tepat sekali” dia memetik jarinya satu kali.“Gimana kabarmu? Ngapain disini?” lanjutnya. “Alhamdulillah baik, ini lagi belanja... Kamu sendiri? Nyari apa disini?”. “Ini ngisi bensin”. Percakapan kecil pun terjadi antara aku dan Riyan. Gak nyangka aku bisa bertemu teman SD ku disini, karena meskipun tetangga, tapi kita merantau keluar kota. Dan sejak pertemuan itu, kita keep in touch—entah lewat sms, bbm, wa atau facebook.

Aku tidak menyangka saja, seorang Riyan yang dulu bisa dibilang adalah ketua geng siswa-siswa nakal, sekarang yang begitu antusias untuk mengadakan kumpul bareng. Sejak pertemuanku dengannya di toko beberapa hari yang lalu, kita mulai mengumpulkan nomor telepon ataupun alamat facebook teman-teman kita semasa SD. Riyan yang membuat grup di facebook, akupun menyumbang alamat facebook teman SD yang aku tau. Awalnya cuma terkumpul 5 anggota, hingga bertambah menjadi 15 orang, lumayanlah... sedangkan teman seangkatan kita waktu itu ada 29. Jadi setidaknya sudah dapat 50%. Karena akhir-akhir ini facebook mulai jarang digunakan, Riyan berinisiatif membuat grup whatsap dan teman-teman setuju. Maka terbentuklah grup whatsap dengan nama “Alumni 2005”. Sejak ada grup WA itulah kita menjadi semakin lebih dekat. Sehingga, setelah itu terjadilah reuni SD setelah 9 tahun tidak bertemu.

###

Lebaran hari ke 4, 2015

Jadi, kamu yang dulu kecil mungil itu sekarang jadi gemuk gini, la? Riyan meledek Laila yang baru saja datang. Teman yang lainnya tersenyum saja melihatnya, begitupun aku. Selanjutnya, Arif dan Rahma yang datang. Ketika mereka nyamperin kita yang saat itu ada di mushola sekolah, sontak suara cie-ciee terdengar serentak dari dalam mushola. Tapi rupanya mereka bukanlah pasangan kekasih, kebetulan saja berangkat bareng karena rumah mereka searah. Arif dan Rahma mulai menyalami kita satu persatu, sambil mencoba mengenali wajah kita setelah 9 tahun tidak bertemu. “Emm... “ hayoo siapa? Sahutku sebelum Rahma selesai menebak siapa aku. “mbak Ririn kan?” dia melanjutkan. Aku tersenyum dan sedikit mengangguk, “bener kaaan, masih aja kalem kayak dulu” lanjutnya.
14 orang sudah terkumpul, memang tidak ada agenda resmi, jadi kita cuma ngumpul dan nantinya akan hangout entah kemana. Sambil menunggu kalau saja ada yang datang lagi, kita mulai berbincang-bincang.
Jadi, siapa aja nih yang sudah nikah? Masak cuma aku?” Alya melempar pertanyaan ke semua.
“Doakan aku sebentar lagi yaaa...” Diyan yang menjawab lalu terdengar suara cie-ciee dari semuanya.
“Dengar2 Mirna juga sudah nikah loh... “ sahut Izza. Tapi saat itu Mirna tidak datang.
“Rin, kamu kapan?” tiba-tiba Riyan melemparkan pertanyaan padaku. Dari dulu anak ini memang sering menggodaku, mentang-mentang aku pendiam.
“Santai aja keles, toh kalo aku segera menikah kamu juga belum punya pasangan buat diajak kondangan, kan?” jawabku.
“Alaaah rin, bilang aja kamu masih jomblo” ledek Riyan.
“Sialaan” jawabku sambil melempar kulit kacang ke arahnya.
Riyan tertawa menang, yang lain juga ikut tertawa.
“mbak Ririn, emang mau sama Riyan?” Sofi, tetanggaku menyahut.
“Emm, mikir berkali-kali dulu deh kalo mau jadiin riyan suami”. Kali ini giliran Riyan yang tertohok.
“Eh ngomong.ngomong Ririn dulu pendiam loh, kenapa sekarang jadi cerewet gini ya?” kata Riyan yang disetujui beberapa teman laki-laki yang lain.
“Dulu dulu, sekarang sekarang... Iya gak rin?” Wildan yang menjawab.
“Siip” ucapku sambil mengarahkan jempol ke Wildan.

Terdengar suara motor berhenti di depan kantor, kami yang ada di dalam mushola pun penasaran siapa yang datang. Dengan lincahnya dan badannya yang mungil Izza berlari ke jendela, mengintip siapa yang datang, Riyan dan Wildan membuntutinya.
Siapa?” rahma menyahut dari tempat kami duduk.
Fatih deh kayaknya” jawab Izza beberapa detik kemudian sambil berjalan kearah kami.
“iya, Fatih itu” Riyan menambahi.

Fatih juga teman seangkatan kita. Dia terbilang anak yang cukup pintar di kelas waktu itu, dan dia adalah lawanku untuk istiqomah mendapat ranking satu di kelas. Biasanya yang peringkat 1, 2 gantian antara aku dan Fatih, peringkat 3 nya tetanggaku, si Sofi. Meskipun akhirnya lebih banyak aku yang mendapat rangking 1, tp bagaimanapun juga aku geregetan dengan Fatih kalau dia berhasil merebut rangking 1.

Dulu waktu sekolah, aku paling suka pelajaran IPS, entah kenapa aku bisa menghafal nama-nama tokoh dalam pelajaran IPS dan bisa dibilang aku lumayan hafal letak negara-negara di dunia lewat melihat atlas, sampai akhirnya ketika berhasil menjadi juara kelas 4, aku mendapatkan hadiah globe mini dari guru kelasku, bu Indah namanya. Dan aku paling tidak suka pelajaran matematika, meskipun aku tidak bodoh-bodoh amat di pelajaran itu. Justru sebaliknya dengan aku, Sofi adalah siswi yang sangat suka dengan pelajaran yang menantang itu, bahkan sampai SMP pun dia masih menyukai pelajaran itu, yaa aku tau karena dia meneruskan di sekolah yang sama denganku. Sedangkan Fatih, dia ahli di pelajaran IPA. Suatu kali aku pernah bertanya ketika materi IPA tentang listrik seri dan pararel yang aku belum paham, dan dia tidak mau memberi tahuku. Rasanya ingin ku jitak saja kepalanya.

“assalamualaikum” Fatih masuk ke mushola, menghampiri kita dan mulai menyalami kita satu persatu. Astaga, sumpah dia terlihat keren pake banget daripada 9 tahun yang lalu. Tapi sepertinya masing songong sih..  Aku menebak-nebak sendiri.
“Ri...rin?” aku sedikit kaget ternyata dia sudah berada di depanku, “yes, exactly” jawabku sambil tersenyum. Sengaja ku jawab pakai bahasa asing karena dari kabar yang ku dengar Fatih menempuh kuliah di Jogja, gak tau jurusan apa. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi salah tingkah begini ketika Fatih datang. Oh My Godness, semoga tidak ada yang tau aku salah tingkah. Ketika sekolah dulu, aku pernah di jodoh-jodohkan dengan Fatih karena kita sama-sama siswa yang cukup pandai di kelas, tapi itu dulu dan aku tidak menghiraukannya. Tapi, kenapa sekarang malah sebaliknya?

“Uda jam sepuluh nih? Masih mau ningguin yang lain apa langsung hangout kemana gitu?”
“ayuk berangkat, sekalian sudah lapar ini...” hehee. Arif menimpali.
Ditentukan dulu dong tempatnya” Riyan menyahut.

Dan setelah beberapa menit berdiskusi disetujuilah tempatnya yaitu di Kencana Cafe. Semuanya berangkat, tak terkecuali Fatih.
Semua segera mengambil kendaraannya. Supaya tidak bergerombol, kita juga memutuskan untuk saling berboncengan. Dari awal aku memang sudah berboncengan dengan Sofi, dan Fatih membonceng Izza. Diam-diam ku perhatikan Fatih yang menunggu izza untuk naik di jok bagian belakangnya.
Aduuh aku ini kenapa??


Bersambung...

Minggu, 03 April 2016

Catatan Tentangnya

Aku pernah sangat mencintaimu. Sangat! Bahkan kau berhasil menghapus nama beberapa lelaki yang sebelumnya pernah singgah dihatiku. And then I lay my love on you.
Tapi sekarang (insyaallah) sudah tidak lagi. Buktinya, ketika membaca lagi curahan hatiku ketika aku tergila-gila padamu, hatiku (lumayan) biasa saja. Dan aku pun berani mempostingnya. J

03 januari 2015
This night is sparkling, don't you let it go
I'm wonderstruck blushing all the way home
I'll spend forever wondering if you knew
I was enchanted to meet you..(Enchanted-Taylor Swift)
Pertama kali bertemu kamu dan sepulang dari airport nyanyiin lagu ini terus. Rasanya lagu ini cocok denganku. J

Maret 2015
Terima kasih, kamu...
Telah menggantikan sosok 'orang itu' dengan hadirmu
Telah memberi cinta baru, juga sakit baru
Telah membuatku tersenyum ketika melihat gambarmu
Telah memberi bait-bait doa baru untuk ku panjatkan
Terima kasih, kamu... Telah memberikan harapan baru
Sekali lagi, terimakasih... Untuk kamu. J

Desember 2015
Egois memang, aku memohon dengan sedikit memaksa agar Tuhan mendekatkan kita ketika Tuhan justru sedang membuatku agar melupakanmu. Tuhan maha asik.

03 januari 2016
Aku mengenalmu tapi kamu tidak mengenalku..
Kamu hadir dan mengubah segalanya. Aku masih ingat senyummu. Wajahmu yang terang dibawah sinar lampu bandara, meskipun kau telah menghabiskan 4-5 jam di dalam kendaraan selama perjalanan menuju bandara, kau masih terlihat tampan, dengan sosok pribadi yang belum pernah aku temui sebelumnya.
Aku tidak mudah menjatuhkan hatiku pada seseorang, tapi padamu aku berani bersumpah bahwa aku jatuh cinta pada pandangan pertama.

Akhir Januari 2016
Aku memanggilnya si sulung...
Cowok yang menyadarkanku tentang sebuah pepatah don'tjudge the book from its  cover.Religius iya, tapi gaya tetap dandy dan masa kini. Mungkin seperti itu deskripsi yang cocok untuknya.
Cowok yang rela resign dari pekerjaan bagusnya hanya demi ‘nyantri'-- ingin memperbaiki akhiratnya.
Cowok yang memberikan aku bukti bahwa love at the first sight itu ada. Iya, aku jatuh cinta kepadanya saat pertama kali kita bertemu pada waktu itu.
Hai, apa kabar kamu sulung?
Waktu itu, di bandara Juanda adalah pertama kali aku melihatmu, dan (mungkin) untuk terakhir kali. Karena tepat setahun setelah itu (bahkan sampai sekarang) kita belum pernah bertemu lagi. Sebenarnya aku tidak hanya ingin bertemu denganmu, aku ingin lebih dari itu...dekat denganmu, lalu.... Ah!
Lung, aku tidak tau apa yang terjadi. Tapi sejak bertemu denganmu  melihatmu pada saat itu,semua nama laki-laki yang pernah ada di pikiranku hilang. Dirimu telah menghapuskan mereka semua dari hati dan pikiranku, tapi sekarang aku tidak bisa menghapusmu dari hati dan pikiranku, meski hanya namamu saja. Bahkan ketika orang tuaku menyuruhku untuk melupakanmu karena suatu alasan tertentu.
Dan aku bisa apa? Aku tak berdaya....

Pertengahan februari 2016
Ya Allah, bantu aku melepaskan apa yang bukan milikku ini tapi telah aku genggam selama 1 tahun, bantu aku mengikhlaskannya. T.T

Pertengahan Maret 2016
Lampu kamar sudah mati, tapi masih ada sedikit sinar yang menerangi karena lampu ruang keluarga masih menyala. Well, i'm wide awake when i hear my father mention his name. Seketika rasa kantukku hilang. Oh my god, move on ku gagal setelah mendengar namanya disebut.
"Jadi kamu masih hidup, lung?" Seakan seperti itu yang ingin aku ucapkan setelah insiden 1 tahun yang lalu itu.
Jadi, dari pembicaraan yang aku dengar, malam ini bapak bertemu dengannya. Seketika kenangan pada saat itu hadir kembali. Kenapa aku harus tau yang namanya kamu? Kenapa saat itu aku melihatmu? Kenapa kau pun sempat meninggalkan fotomu di hp bapakku ketika kalian kebetulan berada ditempat yang sama? Kenapa lung? Jika kau akan pergi begitu saja kenapa kau melakukan itu?
Tidak, tidak! Aku tidak akan menyalahkanmu atas move on ku yang gagal ini. Sebaliknya, ini semua salahku, aku yang berlebihan mengartikan pertemuan singkat kita. -.-
Tuhan, aku tau tidak ada yang kebetulan di dunia ini, termasuk pertemuanku dengannya. Tapi, aku belum mengerti skenario yang Engkau persiapkan untukku, maka tuntunlah langkah hamba agar hamba tidak salah jalan, termasuk jika engkau tidak memperkenankan kami bersama. Tetapi, Engkau tau isi hatiku kan ya Allah? :))


Katanya, kalau kita mencintai seseorang, jangan melebihi cinta kita kepada Allah dan rasulnya. Karena kalau kita menyandarkan cinta kita pada seseorang maka ketika ditinggalkan kita akan merasa sakit, sedangkan kalau kita mencintai Allah, Allah tidak akan pernah meninggalkan kita. Kalau kita menitipkan cinta kita hanya pada Allah, maka Allah juga akan mendekatkan kita dengan orang yang menitipkam cintanya hanya pada Allah. Ternyata, selama ini aku telah salah...

Jadi, untuk yang mengalami masalah percintaan serumit saya.. tidak usah bersedih, Allah telah merencanakan sesuatu yang indah dan terbaik untuk kita. Dan Dia akan memberikannya kepada kita pada waktu yang tepat. 

Minggu, 13 Maret 2016

Menyederhanakan Cita-cita

Dulu sewaktu kecil, ketika ditanya tentang cita-cita, banyak dari kita yang menjawab ingin menjadi dokter, pilot, pramugari, astronot, polisi dan sebagainya. Ketika SMP kita sudah mulai bisa berfikir seperti “gimana mau jadi dokter kalau baru melihat darah saja sudah takut?” atau “tinggiku sepertinya tidak memungkinkan untuk menjadi pramugari”  atau “aku tidak ingin menjadi dokter, aku ingin menjadi guru saja karena menjadi guru itu lebih enak” dsb. Semakin tinggi sekolah, cita-cita menjadi lebih sederhana dan disesuaikan dengan bakat dan hobi yang dimiliki. Misalnya, ketika SMA suka dengan anak-anak kecil sehingga ingin menjadi guru, punya hobi melukis sehingga ingin menjadi pelukis dsb. Atau, sudah mulai berfikir logis seperti,” aku ingin menjadi guru, ingin mengajari anak didikku agar bisa membaca dan menulis, biar dapat pahala yang terus mengalir kalo besok akhirnya anak didikku menjadi anak yang terpelajar”. Hingga ketika kuliah, cita-cita menjadi sangat sederhana lagi, ingin menyelesaikan skripsi dan lulus tepat waktu, berapapun nilainya sudah tidak penting, yang penting lulus, mengingat sulitnya kalau mau bimbingan dan banyaknya revisi. Hehehe. Tentu saja itu bercanda, untuk anak-anak yang menempuh kuliah biasanya cita-citanya adalah setelah lulus langsung bisa dapat kerja, apapun itu. Meskipun tidak linear dengan jurusan yang telah dipilih sebelumnya. Yang penting dapat kerja, mengingat susahnya mencari pekerjaan. Daripada jadi pengangguran?

Mungkin alurnya memang seperti itu, ketika sudah dewasa semua bisa saja berubah. Yang dulu bercita-cita menjadi pelukis, ternyata setelah lulus kuliah di terima kerja di bank. Siapa tau?? Seakan ketika tumbuh dewasa seseorang hanya perlu berkomitmen dalam bekerja untuk mempunyai penghidupan yang layak.

Begitupun denganku, dulu aku juga punya cita-cita yang muluk, dan juga  menjadi semakin sederhana seiring aku bertambah dewasa. Beberapa bulan yang lalu, setelah lulus kuliah aku berencana untuk menetap di Surabaya dan mencari kerja menjadi guru disana (karena cita-citaku ingin menjadi guru) dan melanjutkan S2. Tapi ternyata Tuhan berencana lain, Dia mempertemukanku dengan beberapa kejadian yang memaksaku untuk tinggal di rumah (sementara) setelah lulus kuliah. Hingga akhirnya orang tua menghimbau agar aku tinggal di rumah saja dan tidak usah kembali ke Surabaya. Berat? Tentu saja. Shock? Iya. Tapi akhirnya ku turuti juga permintaan orang tuaku itu. Aku positive thinking saja bahwa ini memang sudah waktunya aku berbakti kepada orang tua setelah 10 tahun merantau, ada banyak hal juga yang harus aku pelajari dan perbaiki di kampung halaman agar aku menjadi lebih baik, juga dengan harapan semoga kampung halamanku menjadi lebih baik dengan pengalaman yang aku bawa dari Surabaya. 
Aku menyadari itu semua, bahwa aku tidak melulu harus menuruti ego dan ambisiku. Cita-citaku menjadi lebih sederhana sekarang, ingin bermanfaat di kampung halaman. Bahkan saat ini, ketika ditanya tentang ingin melanjutkan ke S2 atau tidak, aku lebih memilih untuk mencari pengalaman kerja dulu, meskipun cita-cita untuk melanjutkan S2 masih ada.

Begitulah, meskipun cita-cita menjadi semakin sederhana, bukan berarti kita gagal menggapai cita-cita kita, bukan berarti kita tidak kuat untuk mewujudkan cita-cita atau mimpi-mimpi kita. Tapi, kita mempertimbangkan hal-hal yang lebih bermanfaat yang ada di lingkungan sekitar kita, dan berusaha untuk membantu memperbaikinya. Bukankah sebaik-baik kita adalah yang bermanfaat untuk orang lain? Pun, ketika kita bisa membuat orang lain bahagia, kita sendiri juga akan ikut merasa bahagia. So, jangan pernah gengsi ketika kamu harus menyederhanakan cita-cita atau mimpi!! :))