Jumat, 27 Januari 2017

Syawal Syahdu

Cerbung: Kepingan Memori yang Kembali Part 3

Bulan syawal memang musimnya nikah. Baru seminggu setelah lebaran aja aku sudah resepsi 3X. Dan selanjutnya aku akan resepsi di pernikahannya kakak angkatanku waktu di pondok dulu, aku di undang soalnya selain tetangga (meskipun rumah kita gak deket-deket amat), kakak kelasku itu juga lumayan deket sama aku sewaktu di pondok.

Di acara pernikahan mbak Mira—begitu aku memanggilnya, ternyata aku baru tau kalo Akbar adalah keponakannya kakak kelasku itu. Aku tau itu ketika ku lihat Akbar sibuk kesana-kemari ikut membantu terselenggaranya acara.
Oiya, Akbar adalah teman SD ku, dulu  dia yang paling jago di pelajaran agama, meskipun untuk  peringkat dia hanya ikut 5 besar. Waktu reuni kemaren dia gak hadir. Dia dulu waktu sekolah bisa dibilang deket dengan Fatih.
Baru di akhir acara, ketika para tamu mulai pulang aku menghentikannya ketika dia lewat di depanku, "akbar" panggilku dengan sedikit berteriak, "loh ririn? Kok bisa ada disini?" "iya, temennya mbak Mira. Kamu?” seakan Akbar paham dengan kebingunganku dan dia menjawab “ mbak Mira itu ammahku, rin” "wah gak nyangka ya, dunia selebar daun kelor", "bentar deh rin, kok bisa kamu temennya ammah Mira? Kan kamu seangkatan sama aku?”, "owwh jadi aku adik kelasnya mbak Mira waktu dipondok bar, tapi aku jawab ngasal kirain kamu keluarga jauhnya mbak Mira". Jawabku sambil tertawa. “Oh gitu, oh ya, Fatih disini juga" "apa?" itu adalah ekspresi kagetku ketika nama Fatih disebut, bukan karena aku kurang mendengar apa yang diucapkan Akbar". Akbar melambaikan tangannya ke arah Fatih, aku mengikuti arah pandangan matanya, dan benar saja, Fatih disana, dia berjalan menuju ke arah kita. “waah berasa reuni kecil ini” ujar akbar. “ayo duduk dulu, ngobrol-ngobrol dulu”. “Aku pulang aja deh, cewek sendiri” aku berusaha menghindar. “Eh jangan rin, disini dulu aja, temenin aku, lagian  Akbar masih sibuk, kan? Ntar ketauan dong misi kita kalo aku sendirian aja” Fatih menjawab panjang lebar sambil melirik ke Akbar ketika mengucapkan kalimat terakhir. “misi? Emang misi apa sih?” aku mulai ikut duduk, penasaran dengan rencana 2 orang ini. Fatih dan Akbar tersenyum, “ntar tau sendiri deh” Akbar yang menjawab. “Okey, jadi aku sebagai apa nih?” Aku berusaha setenang mungkin dan tetap tersenyum. “Eh, aku tinggal bentar ya.. Bentar”. Akbar meninggalkan kami. "Tuh kan, apa aku bilang tadi" Fatih nyelutuk. Aku tersenyum, “kok belum balik, tih?" ”minggu depan mungkin..Kamu, kok masih di rumah juga?" dan percakapan pun terjadi antara kita berdua. Finally i got that time, God..

Kira-kira 10 menit kemudian Akbar datang menemui kami. Sepertinya dia sudah tidak sibuk. Setelah mengobrol tentang masa lalu sebentar, saatnya mereka melakukan misi mereka. “kita tunggu aja disini, ntar dia juga seliweran disini” “aku kok lumayan deg-degan ya, tapi penasaran juga orangnya seperti apa”. Aku yang tidak paham apa-apa nyelutuk aja “hmmm ini pasti masalah cewek” “cerdas sekali kau ini rin” Akbar memujiku, “ini aku mau ngenalin Fatih sama sepupuku, kali aja mereka cocok... Eh tapi bahasanya kok ngenalin ya, ngasih tau mungkin lebih tepatnya” lanjut Akbar sambil tertawa. “iya, dia maksa banget biar aku ngeliat sepupunya itu” ucap Fatih, dengan nada yang datar-datar saja.
“faraah” ucap akbar pada seorang perempuan yang bepakaian serba biru laut, hijabnya menutupi dada. Sepertinya ini target mereka. Aku membatin.
“tolong ambilin minum buat 2 temenku ini aku dong, pleeaseee”
“iya tunggu sebentar” ucap perempuan itu dengan tersenyum ramah.
“gimana?” tanya akbar Ketika perempuan itu sudah pergi.
“yaa lumayan” jawab Fatih sambil mengangguk-angguk
“Kalo menurut kamu gimana, rin?”
“mmm cantik, anggun, ramah, hijaber lagi”  jawabku berusaha menyembunyikan badmoodku mendadak.
Perempuan yang dipanggil Farah tadi datang kembali dengan membawa nampan yang berisi teh, mendekati tempat duduk kami. Dan menaruh teh tersebut di depan masing-masing dari kami.
“farah, ini namanya Ririn” ucap akbar sambil mengenalkan aku pada Farah. Yang dikenalkan lalu menyalami tanganku sambil menyebutkan namanya, akupun melakukan hal yang sama.
“kalo yang ini namanya fatih” farah melirik ke arah fatih, begitu pula fatih. Keduanya sama-sama tersenyum. Gila, Fatih pandai sekali mengatur waktu kapan waktunya melirik cewek itu dan kapan waktunya melemparkan senyum.
“she will remember me, I swear!” ucap Fatih ketika Farah sudah berlalu.
“Kok bisa gitu, tih?” aku penasaran alasan fatih ngomong seperti itu.
“ada jurusnya riiiin” jawab fatih tertawa. Dia memanjangkan huruf i ketika menyebut namaku.
“Jurus pertama, beri kesan menarik pada gebetan supaya si gebetan tidak melupakanmu begitu saja” Akbar menimpali sambil mengerlingkan 1 matanya ke fatih.
“oh jadi kebanyakan cowok ngelakuin hal itu ya? Baru tau” aku melipat tangan di perutkuku sambil menyandarkan punggungku di kursi.
“emang kamu gak pernah tertarik sama cowok karena kesan pertama, rin?” Akbar nyelutuk.
“mmmmmmm.... Apa sih? Gak mau jawab ah, sensitif aku kalo di tanya hal beginian, sama cowok lagi. Udah ah mau pulang, misi sudah selesai kan?” lanjutku.

Finally, aku pamit duluan...meninggalkan Fatih dan Akbar yang masih mengobrol, mungkin melanjutkan obrolannya tentang Farah. Pulang duluan is the best way, I think... Daripada aku harus ikut membicarakan cewek lain dengan Fatih?
Okey, aku harus menekankan kepada hatiku sekali lagi. Memangnya Fatih itu siapanya aku? Kenapa aku tiba-tiba cemburu gak jelas begini? Sudah cukup rin...cukup! Aku beberapa kali memukul keningku.

Rabu, 18 Januari 2017

Dia yang menangis paling keras ketika berpisah, dia juga yang menangis paling seru ketika bertemu

Melihat tingkah adik perempuanku, aku menyadari bahwa menangis bukanlah melulu tanda kesedihan, tapi juga tanda kebahagiaan. Adik perempuanku itu memang anak paling bungsu di keluargaku, tau sendiri kan anak bungsu identik dengan apa? Manja, kekanak-kanakan, cengeng, kurang lebihnya seperti itu. 2 bulan yang lalu, dia menangis luar biasa ketika melihat keponakan cowoknya yang baru berumur empat bulan (anakku) dan aku beserta suamiku akan kembali ke Surabaya. Ya, kami memang merantau ke Surabaya. Tambahan lagi, adikku itu sudah bisa di bilang mulai tumbuh dewasa, dia sedang menempuh semester 2 di sebuah universitas swasta di kota kami tinggal. Sebagai sesama cewek, aku merasakan apa yang dirasakan adikku itu, bagaimana tidak, dari lahirnya keponakannya ini sampe empat bulan pada saat itu dia tau perkembangan keponakannya, wajar saja jika dia sedih ketika ditinggal balik. Sebenarnya yang sedih saat itu juga bukan dia saja, akupun begitu, merasa sedih luar biasa  ketika harus balik, duh.. empat bulan dirumah berhasil membuat memori yang berat untuk dilupakan. However, home is the best and the most comfortable place ever and never. Ibu apalagi, sosok yang selalu aku rindukan ketika berada jauh dari rumah. (Hello, kenapa jadi saya yang baper, baiklah... Kembali lagi masalah adikku yang tadi)

Hari ini, dia kesini, mengunjungi kami di Surabaya. Jangan salah, walaupun adikku anak bungsu dan cengeng atau apalah namanya, tapi dia juga berani loh ke Surabaya seorang diri. Dan hari ini, setelah mencuci kaki di kamar mandi setelah perjalanan jauh, dia segera mencium keponakannya sambil menangis sesenggukan, sampai apa yang dia omongkan tidak terdengar jelas. Apakah itu tanda kesedihan? Tentu saja tidak. And everyone knows it. Itu adalah tanda kebahagiaan yang tak terkira. Bahkan aku juga sampai ikut menangis, teringat saat merawat anakku ketika masih dirumah.

Dari artikel online yang pernah aku baca, menangis adalah respon alami terhadap perasaan tertentu. Biasanya karena sedih atau kesakitan, tapi terkadang juga karena alasan lain yang melebihi itu.  Jadi, menangis tidak selalu berarti kesedihan, terlalu bahagia atau terharu pun kadang juga membuat seseorang mengeluarkan air mata.
Air mata tak selalu menandakan bahwa seseorang itu lemah, dia punya banyak arti, termasuk sedih, sakit, bahagia, terharu bahkan lucu. Oleh karena itu, let me say that air mata adalah teman yang paling setia, paling pengertian, dan paling jujur dalam kondisi apapun. Bahkan, kita akan merasa sangat puas ketika sudah mengeluarkan air mata, entah karena sedih atau bahagia. Right? 

*based on someone's true story.

Sabtu, 10 Desember 2016

Taruhan Balapan Lari

Cerbung: Kepingan Memori yang Kembali Part 2

Kencana cafe, 10.37 a.m

Sambil menunggu pesanan datang kami mengobrol tanpa topik. Enaknya bertemu teman lama itu kita bisa belajar banyak pengalaman yang berbeda-beda dari mereka, tentunya lewat cerita mereka. Yes, this is not only a reunited but also sharing experiences. Misalnya, yang masih belom menikah nanya-nanya sama yang sudah menikah tentang gimana rasanya menikah, kehidupan setelah menikah, yang tidak kuliah tanya kuliah itu gimana, yang sudah bekerja menjelaskan dunia kerja itu bagaimana. Bagi-bagi ilmu dengan teman-teman lah intinya. Duh kencana kafe jadi rame sekali gara-gara rombongan kita datang.
“Wil, kamu masih jomblo gak? Sofi jomblo nih, sapa tau kalian bisa jadian” Arif mulai membuat lelucon. Tapi Sofi yang merasa tidak terima dengan ucapan Arif memukul dengan keras lengan Arif.
“Hahaha rasain loe” ungkapku menyetujui apa yang dilakukan Sofi.
“Sepertinya aku bukan tipenya Sofi” ujar wildan sambil menunduk, sok sedih. Ekspresinya dia dapat sekali. Hahaa
“Tipenya Sofi pasti yang otaknya main, trus juga hobi olahraga, iya gak, Sof?” Fatih menimpali.
“yang soleh, yang gahool, yang terpelajar” Sofi menjawab sambil mikir kriteria cowok idamannya.
“aku banget itu” Riyan menyahut.
Semuanya tertawa. Jelas-jelas Riyan tidak nyantol sama sekali di kriteria yang diucapkan Sofi tadi.

Sebenarnya aku menyimpan sejuta rasa penasaran dengan Fatih. Tapi, belum ada topik yang bisa menjadikanku ngomong dengannya. Keadaannya masih beku. Dan aku gak berani untuk menyapa dia duluan. "Tanyain gue kek, tih..." Aku membatin. Aku bernafas kesal dan mulai menghitung mundur sampe seberapa lama aku dan Fatih akan sama-sama tidak saling mengenal.

Percuma nungguin Fatih ngomong sama aku, justru Riyan yang mengajakku bicara. Kebetulan dia duduk di sebelahku.
“Rin, Ilham ngeliatin kamu terus tuh dari tadi”.
“Uh masak?” aku melirik ke arah Ilham. Memang sih sesekali dia memang melihatku. “biarin aja wes, ntar juga dia capek sendiri”. Bisikku ke Riyan.
“kayaknya dia masih suka sama kamu. Kamu ingat? Dulu waktu aku bilang ke kamu mau balapan lari sama Ilham dan siapa yang menang bakal dapetin kamu?” Aku mencoba mengingat-ingat kejadian itu.

Flashback.
Aku meminjam buku catatan Sofi karena tadi pagi tidak masuk sekolah. Dia bilang ada murid baru dikelas kami. Waktu itu aku duduk di kelas 5. “anaknya gimana? Pinter gak?” seketika itu yang aku tanyakan ke sofi. Bahaya kalo dia tergolong anak yang cukup pandai, aku punya satu saingan lagi nantinya. “gatau sih, kan baru, tapi tadi disuruh pak misbah ngerjain MTK di depan dia bisa”. Kata Sofi.
Keesokan harinya aku penasaran sekali dengan murid baru itu, dan ternyata dia sudah berangkat lebih dulu daripada aku. Mungkin temen-temenku yang cowok sudah memberi tahu murid baru itu siapa aku. Oiya, aku lupa bilang kalo murid baru itu adalah cowok. Setelah terdengar bisik-bisik diantara teman-teman cowok, murid baru itu menghampiriku “Ririn, aku Riyan”, “Ririn”, sambil menyambut uluran tangannya yang menyalamiku.

Seiring berjalannya waktu aku tau Riyan bukan termasuk anak yang pintar dikelas kami. Kemampuannya biasa-biasa saja. Dan seiring berjalannya waktu, dia mulai menampakkan kenakalannya. Dengan wajah yang lumayan ganteng--meski tidak pintar, mungkin dia bermaksud untuk menggodaku, apakah cewek yang paling pandai dikelas ini tergoda dengan ketampanan teman sekelasnya atau tidak.

Suatu kali ketika pelajaran olahraga, Riyan mendekatiku dan membisikkan sesuatu. “aku mau balapan lari sama Ilham, nanti yang menang otomatis jadi pacar kamu, gimana?”. Sepertinya dia juga sudah tau kalo si Ilham itu naksir sama aku sejak kelas 4, tapi naksirnya dengan cara yang tidak sehat. Jujur dalam hati jika balapan lari itu terjadi aku berharap Riyan lah yang menang, setidaknya aku bebas dari yang namanya Ilham. Karena disukai Ilham itu membuat aku ketakutan sendiri.
Gara-gara bertengkar dengan Arif, Ilham pernah bawa sabit ke sekolah. Serem kan dia?  Tapi, bagaimana jika Ilham yang menang? Bukankah aku seperti menjerumuskan diriku sendiri?
“gimana? Aku yang akan memenangkannya” jawab riyan dengan yakin saat itu.
“Buat apa sih? Aku kan bukan barang yang bisa diperebutkan begitu aja?”. Itu jawaban yang keluar dari mulutku dengan ekspresi marah.
“nanti kalo bukan kamu yang menang gimana?”. Lanjutku dalam hati.
Dan akhirnya balapan lari tersebut gagal dilaksanakan.

Flashback berakhir.

Aku tidak tau yang dilakukan Riyan saat itu, saat dia mau balapan lari sama Ilham, itu karena dia ingin menggoda cewek pintar di kelasnya, karena dia punya tampang yang lumayan atau dia ingin menolong aku yang menderita karena Ilham? Entahlah, Tapi dilihat dari sikapnya sekarang, dia baik, tidak bermaksud menggodaku.  Tapi aku tidak menanyakan tentang itu ke Riyan, toh itu juga masa kanak-kanak kita.
“Ingat?” riyan menyadarkanku yang mengingat-ingat kejadian itu.
“inget inget, serem ya Ilham dulu itu”
“hati-hati lho sepertinya dia belum bisa move on”
Aku melirik ke arah ilham, “duh kok tiba-tiba aku jadi takut gini ya, tolongin dong”
Riyan hanya tersenyum melihat tingkahku.
“nah ini akhirnya datang juga” seru Arif ketika pelayan kafenya mulai mengantarkan pesanan ke meja kita.

Senin, 28 November 2016

Mereka dan Cita-citanya

Hari ini sebenarnya sedang badmood sekali, tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah berdoa semoga tidak ada guru yang absen jadi aku bisa bebas tugas, tapi yang terjadi justru malah sebaliknya. Ya, senin adalah MONster DAY, dan punya piket jaga pas hari senin juga sering banyak kerjanya daripada free nya. Tapi, tadi badmoodku mendadak hilang ketika masuk kelas 4, entahlah... Aku suka melihat kekompakan anak-anak kelas 4 MI ini. Mereka kompak menata ruang kelas menjadi se-kreatif mungkin, membuat dan menjalankan aturan kelas sesuai kesepakatan mereka, melakukan sesuatu ketika pelajaran kosong--seperti menggambar, diskusi atau sekedar ngobrol, dan kompak membangkang bersama-sama. Yang terakhir tidak menyenangkan didengar memang. Hehee. Meskipun begitu, kelas yang berisi 19 anak  ini rata-rata tergolong cukup pintar dan mudah faham untuk menerima pelajaran.

Setelah membahas sedikit materi di LKS, entah kenapa tiba-tiba pembicaraan kita menjadi tentang cita-cita, karena masih ada waktu yang agak lama sebelum jam istirahat, akhirnya aku gunakan untuk bertanya tentang cita-cita mereka. Jawaban mereka bermacam- macam, ada yang ingin menjadi dokter, polisi, kyai, pejabat, guru dan lain-lain. Ahya namanya, cowok yang selalu mendapat peringkat 1 dikelasnya itu bercita-cita ingin menjadi DPR, menurutku dia menjawab seperti itu karena ayahnya saat ini menjabat sebagai DPR Daerah. Lalu Avin, cowok yang gak kalah pintar plus paling ganteng, awalnya dia bingung mau jawab apa ketika ku tanya tentang cita-citanya, setelah mendengar jawaban Ahya, dia mengangkat tangannya lalu bilang, “bu, cita-citaku ingin menjadi guru”. Seperti Ahya, mungkin dia ingin menjadi guru karena saat ini ayahnya adalah seorang kepala sekolah di sebuah Sekolah Menengah Pertama.
Satu hal yang membuatku bahagia ketika mendengar  cita-cita anak-anak kelas 4 ini. Meskipun mayoritas pekerjaan orang tua mereka adalah petani, tapi mereka mempunyai cita-cita yang tinggi.
Ada satu anak yang menjawab berbeda tadi, ketika aku bertanya cita-citanya apa, dia menjawab polos ingin menjadi penjual ikan bandeng. “loh, kenapa ingin menjadi penjualnya? Kenapa bukan menjadi bos nya saja?” tanyaku. Lalu, aku maju ke depan dan berkata kepada semuanya bahwa cita-cita itu harus yang tinggi, karena cita-cita adalah doa. Lalu anak yang awalnya bercita-cita ingin menjadi penjual bandeng tadi berkata lagi, “bu, bu... Iya bu, aku ingin menjadi bos nya para penjual ikan bandeng”. Aku tersenyum dan mengarahkan jempol kananku kepadanya yang waktu itu duduk dibangku belakang.

Seketika aku teringat tentang cita-cita Ahya dan Avin, “nak, mungkin saat ini kalian bercita-cita ingin menjadi seperti orang tua kalian, tapi suatu saat kalian akan tau bahwa cita-cita kalian adalah milik kalian, bukan atas rasa ingin meniru orang tua kalian. Suatu saat nanti, kalian akan sadar cita-cita sejati kalian...” batinku. “bu, istirahat”, suara seorang siswa membuyarkan lamunanku. Sebelum membiarkan mereka keluar kelas, ku beri mereka sedikit nasehat tentang manfaat cita-cita yang telah mereka sampaikan agar mereka menjadi lebih giat belajar untuk menggapai cita-cita mereka.

Good luck, guys :)

Sabtu, 08 Oktober 2016

My Saturday Night

Memang, taman kota ini selalu ramai di malam hari, khususnya ketika weekend seperti ini. Aku duduk di bawah sebuah pohon yang tak terlalu besar yang berada tak jauh dari taman itu. Sendirian? Tentu saja!
Ku pandangi keadaan di sekitarku, di dekat air mancur yang tak jauh dari tempatku duduk, ku lihat sepasang muda mudi sedang asyik bercanda, terlihat sekali rona merah pipi si gadis, mungkin pria-nya pandai sekali menggombalinya, agak jauh dari air mancur terlihat sepasang kekasih sedang bergandengan tangan, si cewek dengan kaos feminim, hot pants dan topi miring, si cowok dengan kaos oblong dan celana jeans, di depan mereka ada segerombolan orang-orang yang sedang menonton atraksi dance battle, dan sepertinya cewek itu juga anggota dance battle itu. Di sisi lain, di sebelah kananku ada segerombolan remaja, putra putri yang sedang asyik bercengkerama, berdiskusi entah apa, lalu ku lihat sepasang cewek sedang berjalan dari tempat parkir, satu dari mereka sedang asyik dengan handphonenya hingga mengabaikan teman yang berada disebelahnya yang sedang bercerita, mungkin mereka adalah korban LDR, di seberang jalan, di sebuah kafe kecil, dari balik jendela kaca terlihat sosok lelaki dan perempuan yang sedang menikmati minumnya, si perempuan tampak anggun dengan hijab syar’i nya, aku yakin mereka bukan pasanan suami istri, karena ku lihat sesekali masing-masing dari mereka menundukkan kepala untuk menjaga pandangan.
Ahh kenapa taman ini kebanyakan berisi orang-orang yang berpasangan? Aku mengusap mukaku dengan kedua tangan. Malam ini aku memutuskan datang ke tempat ini bermaksud untuk menenangkan pikiranku dari beberapa hal yang menggangguku, teman kost yang nyebelin, tugas yang menumpuk, hingga perasaan hati. Tapi aku gak menyesal datang ke tempat yang dipenuhi dengan orang yang berpasangan ini, meskipun aku tidak membawa pasangan, karena yang terpenting bagiku sekarang adalah aku bisa keluar dari asrama--untuk menghirup udara kebebasan, melupakan tugas sejenak dan mengembalikan mood yang sedang berantakan.
Meskipun disini aku juga tidak melakukan apa-apa, setidaknya aku bisa bahagia, because I create my own happiness.

Sabtu, 23 Juli 2016

Marry Your Daughter

Cerpen. Dari sudut pandang seorang lelaki. Fiksi.
Terinspirasi setelah memutar lagu Marry YourDaughter-nya Brian Mcknight.


Aku melihat-lihat box kecil merah yang ada di tanganku, buka-tutup, buka-tutup, buka lagi, tutup lagi, sambil sesekali melihat isinya. Kapan aku berani melamarmu? Batinku.

###

“Vin, tungguin dong..”
“Makanya kalo jalan jangan kayak kura-kura”
“Bantuin bawa gitu kek, berat ini tas nya” sahutnya mulai kesal.
Aku yang sudah beberapa meter berada di depannya kembali mundur dan menghampirinya, “sini tas nya”. Aku gak bermaksud apa-apa, cuma sebagai lelaki mana tega ku biarkan cewek yang kepayahan dengan ransel di punggungnya, tas jinjing besar di tangan kanannya dan kantong plastik ukuran sedang di tangan kirinya? Apalagi meninggalkannya jalan sendirian waktu malam begini sedangkan dia tinggal di asrama yang sama denganku dan aku adalah orang terdekatnya (saat itu) karena kita berasal dari kota yang sama. 

Aku tersenyum sendiri teringat kejadian 3 tahun yang lalu itu, ketika kita masih sama-sama mahasiswa baru. Setelah itu kita tidak pernah bertemu lagi, sampai sekitar sebulan yang lalu tanpa sengaja kita dipertemukan kembali. Di depan gedung fakultasku, dia memanggil namaku dengan nada dan panggilan khas nya sambil melambaikan tangannya ke arahku.
“Ngapain disini?” tanyaku menghampirinya.
“Nungguin temen, mau ngembaliin ini” dia mengangkat sebuah buku dari tangannya.
“Sumpah yaa sekarang tambah gemuk begini.. Kemarin KKN dimana?”  lanjutnya.
“Magetan. Kamu?”
“Kediri” jawabnya tersenyum. And it's the first time I realize that she has a sweet smile. Really!
“Gak pulkam?” pertanyaannya menyadarkan diriku kembali.
“paling bentar lagi. Kamu? Ini mau pulkam?” aku mulai menebak.
“Hu'um” dia tersenyum lagi.
“Mau dianterin? Sampe terminal?” entah kenapa kalimat itu yang terucap dari mulutku.
“Hahaa gausah kali, uda biasa sendiri”
“Eh, nomer kamu masih yang dulu kan?” Sialan! Stupid question again. Batinku.
“Bisa jadi, soalnya gak pernah ganti sih” katanya.

###

Siapa bilang cowok tidak pernah galau, tidak pernah patah hati? Kita para cowok sebenarnya juga sedih ketika tiba-tiba ditinggalkan kekasih begitu saja, apalagi untuk menikah dengan laki-laki lain, cuma kita tidak pandai menunjukkan kesedihan tersebut. Rasanya hatiku seperti dibanting dan pecah berkeping-keping ketika kekasihku melakukan hal itu padaku. Aku pernah down beberapa hari tapi aku memilih bangkit dan melanjutkan hidup.

Tapi berkat patah hati, aku telah mencapai puncak gunung beberapa kali. Ya, itu salah satu pelampiasanku agar aku tetap bahagia. Hal yang paling menarik menurutku dari sebuah pendakian adalah, aku bisa melihat ke Maha Kuasa an Tuhan yang membuat aku berdecak kagum berkali-kalidan  dan juga membuatku menangisi dosa-dosaku dan rendahnya diri ini ditengah ke Maha Kuasa an Tuhan. Lalu aku mulai berfikir, kenapa aku harus sedih dengan masalah kecil  seperti ini ketika aku punya Tuhan yang Maha Besar dan Maha Kuasa?

Pada suatu sore aku ke pantai dekat rumah untuk menikmati sunset dan membuang galau yang sesekali masih datang menghampiri setelah patah hati, eh, lebih dari patah hati.. Hancur. Aku sebenarnya tidak terlalu suka pantai atau laut, aku lebih suka gunung. Tapi, tiba-tiba aku menjadi suka pantai dan sunset sore itu, cuma sore itu.. Karena ada momen menarik.

Gita, ya, ku lihat gadis itu disini juga, sepertinya dengan keluarganya. Ada 5 orang. Cowok 1, 3 cewek lainnya seumuran Gita—sepertinya, dan 1 ibu yang duduk di kursi roda. Ku perhatikan dari jauh, ketika yang lainnya asik berfoto, Gita malah tidak pernah jauh dari ibu yang ada di kursi roda tersebut. Sesekali dia menyuapi makanan dan mengelap sisa makanan di sekitar mulut ibu itu. Meskipun begitu tapi dia terlihat bahagia. Satu hal yang aku sadari saat itu, bahwa bahagia itu bermacam-macam bentuknya, ada yang begitu bahagia ketika berfoto-foto ria, ada juga yang bahagia ketika melihat orang lain bahagia.
Entah itu nilai plus untuk dia yang ke berapa, setelah terakhir aku memberinya nilai plus lagi karena dia telah menemaniku bangun dini hari menonton klub sepak bola favoritku main. Meskipun dia banyak komentar , “Courtuis itu cakep yaa...” sampai “yang nomer punggung  9 itu siapa sih? Curang banget mainnya” dsb. But, I like being awake with her. Keakraban yang baru terjalin satu bulan ini perlahan mengobati patah hatiku. 

Does she feel it?

###

“bro, Karin tuh.. Kemarin dia wa gue, dan dilihat dari gelagatnya sepertinya dia ingin balikan sama loe” Doni menepuk bahuku ketika orang yang dibicarakan menuju tempat parkir fakultas.
“males lah”
“hei, loe harus move on, bro, move on. Loe harus buktiin ke Wirda kalo loe itu strong, meskipun dia ninggalin loe dan memilih menikah dengan orang lain. Lagian, apa kurangnya loe sih, sudah pantaslah buat jadi imam. Heran gue kadang sama si Wirda itu”. Terlihat jelas kekesalan Doni di kalimat terakhirnya.
“Iya, aku bakal buktiin itu”
“serius? Ke Wirda?”
“yap”
“wih mantap.. Jadi, loe beneran bakal balikan sama Karin?”
“ya gak Karin juga kali... Loe lihat aja besok”

###

Belakangan ini, aku berfikir untuk langsung melamarnya. Ini bukan waktunya untuk main-main lagi dengan perasaan. Dan rencanaku sudah bulat, aku harus melamarnya, segera!
Siang itu langit cerah sekali. Aku mengendarai motorku untuk mengejar masa depan. Tak lupa ku bawa box merah yang sudah tidak tersembunyi manis di laci lemari, karena akhir-akhir ini aku sering mengeluarkannya dari tempat persembunyiannya. Semoga jawaban yang akan aku dapatkan juga secerah langit siang ini, dan cincin ini pas dan cocok terpasang di jari manisnya meskipun aku membelinya tanpa ukuran. 

Gang orange, 57 dukuh kawal.

Aku bernafas berat, bismillah... Laa haula wa laa quwwata illa billah.
“assalamualaikum” ucapku akhirnya.
Seorang pria menjawab salam dan menuju pintu. “mencari siapa, nak?”
“saya temannya Gita, pak...”
“oh....”
“tapi saya ada urusan dengan bapak” potongku sebelum bapak itu melanjutkan perkataannya. Gila! Badanku tiba-tiba panas dingin begini.
“dengan saya?” bapak itu memastikan apa yang aku katakan dan mulai terlihat khawatir.
“iya, pak” aku mengangguk.
“baiklah, silahkan masuk”.

Jarak antara pintu dan ruang tamu tidak jauh,kira-kira hanya 3 meter, tapi telah membuat langkahku terasa berat sekali. Aku grogi gak karuan. Tanganku panas dingin dan keringat di punggungku terasa mengalir. Aku tidak pernah senervous ini sebelumnya.

“ada apa dengan anak saya, nak”
“sebelumnya saya minta maaf karena saya grogi sekali saat ini. Maka maafkan jika nanti saya akan menyita banyak waktu bapak. Pak, saya Avicena Muhammad, saya menyukai putri bapak, Anggita Larasati. Dan saya bermaksud untuk melamar putri bapak.”
---------------
---------------
---------------
---------------

###

Kata bapak, kamu tadi ke rumah ya? (19.07)
Iya, trus? (19.10)
Bapak tadi bilang katanya kamu..... Kamu sehat gak sih? (19.11)
Bapakmu bilang katanya aku kenapa? Ganteng ya? ;-) (19.11)
ih, pede.. Kayaknya kamu mulai gak waras deh.. (19.12)
Aku serius, Git.. Jadi, kamu gimana? (19.12)
Kata bapakmu semua di serahkan kepadamu,
karena kamu yang akan menjalani
Dan kata bapakmu juga kamu lebih tau siapa aku daripada bapakmu (19.13)
Semoga jawabanmu tidak mengecewakanku, Git (19.16)
Vin.... (19.17)
Iya, Git? Duh kenapa aku deg-degan sekali begini? (19.17)
Vin, kamu serius? (19.17)
I swear to you with all of my heart, Git (19.18)
Kamu tau kan aku orangnya gimana?
Banyak kekuranganku.. (19.19)
Aku tau (19.19)
Trus? (19.20)
Dan aku tetap memilihmu (19.20)
Kenapa? (19.20)
Karena aku nyaman sama kamu.. (19.21)
Itu saja? (19.21)
Sebenarnya tidak, bahkan aku mencintaimu tanpa alasan,
mencintaimu apa adanya
You’re my everything, Git.. (19.23)
Kamu nanya-nanya terus, jadi jawabanmu gimana? (19.24)
Aku.... (19.25)
Gitaa, please...  (19.25)

Aku mulai deg-degan menunggu jawaban Gita. Ku lemparkan handphone ku keatas bantal. Aku takut membuka pesan selanjutnya.
Tuing-tuing, nada notifikasi wa ku berbunyi. Dengan berat tapi penasaran ku ambil handphone ku dank u tekan tombol power, nama Gita muncul disana. Bismillah… ucapku lirih.

Rasanya keberanianmu datang kesini dengan sepenuh hati dan bilang ke bapak akan tujuanmu,
tidak layak untuk ditolak, Vin J (19.28)

So, will you marry me? (19.30)
Yes, sure.. J


Tiba-tiba saja aku merasa menjadi orang paling bahagia di dunia. Aku membaringkan tubuhku di tempat tidur, tersenyum. Sayup-sayup ku dengar lagu Marry Your Daughter mengalun lembut dari laptop di meja kamarku.

She’ll be the most beautiful bride that I’ve ever seen
Can’t wait to smile
When she walks down the aisle
On the arm of her father, and the day that I marry your daughter

Terima kasih, Git. Ucapku lirih.

###

Pagi, Git… tiba-tiba aku inget wajah kesalmu ketika pulang dari LDK dulu :v :v
Cewek kecil bawa ransel gede, tas gede di tangan kanan-kiri :v
Tapi aku suka sama dia *titik dua bintang*  (05.46)
Aviiiin.... :3
Kamu masih inget kejadian itu?
Maluu ih X_X (06.05)

Masih Git, the first time kita kenal.. lalu dekat (?) J (06.09)
Aaaand you should know that at that first time I’ve fallen in love with you.
Itu rahasia yang tidak kamu tau Vin.. J (06.15)
Really? Pantesan kemaren kamu langsung nerima aku hehehe
Aku sangat senang mengetahuinya, Git
Aaand I’m also falling in love with you from now and forever (06.16)
Ingat waktu kita dancing in the rain in that December?
Waktu LDK? Di suatu sore sehari sebelum kita balik kampus?
Waktu itu kelompokmu sampingan sama kelompokku, and I really enjoy dancing while… sesekali ngeliatin kamu. (06.20)
Masyaallah Git,  maaf aku gak sadar tentang itu.. (06.21)
Aku janji, mulai sekarang aku akan ada untukmu, Git (06.22)
Aku percaya sama kamu, Vin… (06.22)
Makasih ya *titik dua bintang*(06.23)
*titik dua bintang* (06.24)


Titik dua bintang, jika ditulis di chat akan berubah menjadi emoticon cium. Tapi Gita tidak mau kita asal-asalan kalau menggunakan emoticon. Katanya, dia kadang geli sendiri, makanya kita mengganti emoticon cium dengan titik dua bintang. Gita mengajarkanku cara menjalin hubungan yang tidak alay. Dia tidak minta dipanggil sayang atau apa, dan kita setuju panggilan sayang kita adalah, “Gita (aku memanggilnya) dan Avin (dia memanggilku)".


Oiya, namaku Avicena Muhammad, biasanya dipanggil Avis. Tapi dari awal ketemu Gita, hanya dia yang manggil aku Avin. 

Selesai. 

Jumat, 22 Juli 2016

Semangat Pertama Sekolah

Hari ini adalah hari kedua masuk sekolah tahun ajaran baru. Seperti kemarin, hari ini aku mengantarkan anak pertamaku ke sekolah TK. Demi dia aku rela cuti kerja seminggu untuk menemaninya berada di lingkungan baru, sekolah. Sama seperti orang tua-orang tua lainnya.

“Bunda, besok kakak gausah ditungguin lagi kalo sekolah, kakak kan uda besar, uda berani disekolah sendiri, jadi bunda tetap bisa kerja seperti biasa”, kata anakku ketika kita memasuki gerbang sekolah. Aku terharu dengan yang diucapkannya, lalu ku rendahkan badanku mensejajarkan mataku dengan matanya dan menatapnya lembut, “kakak tidak apa-apa kalo tidak ditemenin bunda? sudah berani kalo ditinggal bunda?” kataku sambil membelai kerudung birunya. Dia mengangguk. “kakak kan bisa main sama teman-teman disitu bunda”, katanya sambil menunjuk ke ayunan, jungkat-jungkit dan mainan-mainan lainnya yang berada di depan kelasnya. “kakak juga punya bunda-bunda yang baik dan cantik (baca: Guru-guru TK)”, lanjutnya. Aku tersenyum, dia juga. Lalu disalaminya tanganku, “assalamualaikum, bunda…”, “wa’alaikumsalam, sayang”, jawaban salamku mengiringinya berlari bergabung bersama teman-temannya ditempat bermain. Dari kejauhan, kulihat dia tertawa ceria bermain dengan teman-teman barunya. Ternyata dia mudah bergaul dengan orang-orang baru disekitarnya, sama seperti ayahnya. Aku tersenyum.


Sebelum masuk kelas, bunda-bunda TK mengumpulkan semua siswa di lapangan. Ketika siswa baru diminta untuk memperkenalkan dirinya didepan-seperti yang dicontohkan bunda sebelumnya, dengan percaya diri anakku mengangkat tangan tinggi-tinggi lalu maju ke depan dan berbicara lantang, "halo teman-teman, nama saya Ann, Annelies Mellema Hermawan". :)) 




*Ditulis dari lantai 2 asrama Annur, terinspirasi ketika mendengar adik-adik TK Unggulan Annur berkenalan dengan Bunda dan teman-temannya di halaman sekolah. 

*telat diposting karena sempat jatuh sakit beberapa hari :)