Cerbung: Kepingan Memori Yang Kembali
Part 1
Ririn?” suara seorang cowok memanggil namaku ketika aku keluar dari sebuah toko. Beberapa detik aku memandang wajahnya dan mencoba mengenalinya, “emm... Riyan ya?” ucapku mencoba menebak namanya. “Tepat sekali” dia memetik jarinya satu kali.“Gimana kabarmu? Ngapain disini?” lanjutnya. “Alhamdulillah baik, ini lagi belanja... Kamu sendiri? Nyari apa disini?”. “Ini ngisi bensin”. Percakapan kecil pun terjadi antara aku dan Riyan. Gak nyangka aku bisa bertemu teman SD ku disini, karena meskipun tetangga, tapi kita merantau keluar kota. Dan sejak pertemuan itu, kita keep in touch—entah lewat sms, bbm, wa atau facebook.
Part 1
Ririn?” suara seorang cowok memanggil namaku ketika aku keluar dari sebuah toko. Beberapa detik aku memandang wajahnya dan mencoba mengenalinya, “emm... Riyan ya?” ucapku mencoba menebak namanya. “Tepat sekali” dia memetik jarinya satu kali.“Gimana kabarmu? Ngapain disini?” lanjutnya. “Alhamdulillah baik, ini lagi belanja... Kamu sendiri? Nyari apa disini?”. “Ini ngisi bensin”. Percakapan kecil pun terjadi antara aku dan Riyan. Gak nyangka aku bisa bertemu teman SD ku disini, karena meskipun tetangga, tapi kita merantau keluar kota. Dan sejak pertemuan itu, kita keep in touch—entah lewat sms, bbm, wa atau facebook.
Aku tidak menyangka saja, seorang Riyan yang
dulu bisa dibilang adalah ketua geng siswa-siswa nakal, sekarang yang begitu antusias
untuk mengadakan kumpul bareng. Sejak pertemuanku dengannya di toko beberapa
hari yang lalu, kita mulai mengumpulkan nomor telepon ataupun alamat facebook
teman-teman kita semasa SD. Riyan yang membuat grup di facebook, akupun menyumbang
alamat facebook teman SD yang aku tau. Awalnya cuma terkumpul 5 anggota, hingga bertambah menjadi 15 orang,
lumayanlah... sedangkan teman seangkatan kita waktu itu ada 29. Jadi setidaknya sudah dapat 50%. Karena akhir-akhir
ini facebook mulai jarang
digunakan, Riyan berinisiatif membuat grup whatsap dan teman-teman setuju. Maka
terbentuklah grup whatsap dengan nama “Alumni 2005”. Sejak ada grup WA itulah kita
menjadi semakin lebih dekat. Sehingga, setelah itu terjadilah reuni SD setelah 9
tahun tidak bertemu.
###
Lebaran hari ke 4, 2015
Jadi, kamu yang dulu kecil mungil itu sekarang
jadi gemuk gini, la? Riyan meledek Laila yang baru saja datang. Teman
yang lainnya tersenyum saja melihatnya, begitupun aku. Selanjutnya, Arif dan Rahma
yang datang. Ketika mereka nyamperin kita yang saat itu ada di mushola sekolah,
sontak suara cie-ciee terdengar serentak dari dalam mushola. Tapi rupanya
mereka bukanlah pasangan kekasih, kebetulan saja berangkat bareng karena rumah mereka
searah. Arif dan Rahma mulai menyalami kita satu persatu, sambil mencoba
mengenali wajah kita setelah 9 tahun tidak bertemu. “Emm... “ hayoo siapa?
Sahutku sebelum Rahma selesai menebak siapa aku. “mbak Ririn kan?” dia
melanjutkan. Aku tersenyum dan sedikit mengangguk, “bener kaaan, masih aja
kalem kayak dulu” lanjutnya.
14 orang sudah terkumpul, memang tidak ada
agenda resmi, jadi kita cuma ngumpul dan nantinya akan hangout entah kemana.
Sambil menunggu kalau saja ada yang datang lagi, kita mulai berbincang-bincang.
“Jadi,
siapa aja nih yang sudah nikah? Masak cuma aku?” Alya melempar pertanyaan ke semua.
“Doakan aku sebentar lagi yaaa...” Diyan yang
menjawab lalu terdengar suara cie-ciee dari semuanya.
“Dengar2 Mirna juga sudah nikah loh... “ sahut
Izza. Tapi saat itu Mirna tidak datang.
“Rin, kamu kapan?” tiba-tiba Riyan melemparkan
pertanyaan padaku. Dari dulu anak ini memang sering menggodaku, mentang-mentang aku pendiam.
“Santai aja keles, toh kalo aku
segera menikah kamu juga belum punya pasangan buat diajak kondangan, kan?”
jawabku.
“Alaaah rin, bilang aja kamu masih jomblo” ledek
Riyan.
“Sialaan” jawabku sambil melempar kulit kacang
ke arahnya.
Riyan tertawa menang, yang lain juga ikut
tertawa.
“Emm, mikir berkali-kali dulu deh kalo mau
jadiin riyan suami”. Kali ini giliran Riyan yang tertohok.
“Eh ngomong.ngomong Ririn dulu pendiam loh,
kenapa sekarang jadi cerewet gini ya?” kata Riyan yang disetujui beberapa teman
laki-laki yang lain.
“Dulu dulu, sekarang sekarang... Iya gak rin?”
Wildan yang
menjawab.
“Siip” ucapku sambil mengarahkan jempol ke Wildan.
Terdengar suara motor berhenti di depan
kantor, kami yang ada di dalam mushola pun penasaran siapa yang datang. Dengan lincahnya dan badannya yang
mungil Izza
berlari ke jendela, mengintip siapa yang datang, Riyan dan Wildan membuntutinya.
“Siapa?” rahma menyahut dari tempat kami duduk.
“Fatih deh kayaknya” jawab Izza beberapa detik kemudian sambil berjalan kearah kami.
“iya, Fatih itu” Riyan menambahi.
Fatih juga teman seangkatan kita. Dia terbilang anak yang
cukup pintar di kelas waktu itu, dan dia adalah lawanku untuk istiqomah mendapat ranking satu di kelas.
Biasanya yang peringkat 1, 2 gantian antara aku dan Fatih, peringkat 3 nya tetanggaku, si Sofi. Meskipun akhirnya lebih banyak aku yang
mendapat rangking 1, tp bagaimanapun juga aku geregetan dengan Fatih kalau dia berhasil merebut rangking 1.
Dulu waktu sekolah, aku paling suka pelajaran
IPS, entah kenapa aku bisa menghafal nama-nama tokoh dalam pelajaran IPS dan
bisa dibilang aku lumayan hafal letak negara-negara di dunia lewat melihat
atlas, sampai akhirnya ketika berhasil menjadi juara kelas 4, aku mendapatkan
hadiah globe mini dari guru kelasku, bu Indah namanya. Dan aku paling tidak
suka pelajaran matematika, meskipun aku tidak bodoh-bodoh amat di pelajaran
itu. Justru sebaliknya dengan aku, Sofi adalah siswi yang sangat suka dengan
pelajaran yang menantang itu, bahkan sampai SMP pun dia masih menyukai
pelajaran itu, yaa aku tau karena dia meneruskan di sekolah yang sama denganku.
Sedangkan Fatih,
dia ahli di pelajaran IPA. Suatu kali aku pernah bertanya ketika materi IPA
tentang listrik seri dan pararel yang aku belum paham, dan dia tidak mau
memberi tahuku. Rasanya ingin ku jitak saja kepalanya.
“assalamualaikum” Fatih masuk ke mushola,
menghampiri kita dan mulai menyalami kita satu persatu. Astaga, sumpah dia
terlihat keren pake banget daripada 9 tahun yang lalu. Tapi sepertinya masing
songong sih.. Aku menebak-nebak sendiri.
“Ri...rin?” aku sedikit kaget ternyata dia
sudah berada di depanku, “yes, exactly” jawabku sambil tersenyum. Sengaja ku
jawab pakai bahasa asing karena dari kabar yang ku dengar Fatih menempuh kuliah
di Jogja, gak tau jurusan apa. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi salah tingkah
begini ketika Fatih datang. Oh My Godness, semoga tidak ada yang tau aku
salah tingkah. Ketika sekolah dulu, aku pernah di jodoh-jodohkan dengan Fatih karena
kita sama-sama siswa yang cukup pandai di kelas, tapi itu dulu dan aku tidak
menghiraukannya. Tapi, kenapa sekarang malah sebaliknya?
“Uda jam sepuluh nih? Masih mau ningguin yang
lain apa langsung hangout kemana gitu?”
“ayuk berangkat, sekalian sudah lapar ini...”
hehee. Arif menimpali.
“Ditentukan dulu dong tempatnya” Riyan menyahut.
Dan setelah beberapa menit berdiskusi disetujuilah tempatnya yaitu di Kencana Cafe. Semuanya berangkat, tak
terkecuali Fatih.
Semua segera mengambil kendaraannya. Supaya tidak bergerombol, kita
juga memutuskan
untuk saling berboncengan. Dari awal aku memang sudah berboncengan dengan Sofi, dan Fatih membonceng Izza. Diam-diam ku perhatikan
Fatih yang
menunggu izza untuk naik di jok bagian belakangnya.
Aduuh aku ini kenapa??
Bersambung...