Dulu sewaktu kecil, ketika ditanya tentang
cita-cita, banyak dari kita yang menjawab ingin menjadi dokter, pilot,
pramugari, astronot, polisi dan sebagainya. Ketika SMP kita sudah mulai bisa berfikir
seperti “gimana mau jadi dokter kalau baru melihat darah saja sudah takut?”
atau “tinggiku sepertinya tidak memungkinkan untuk menjadi pramugari” atau “aku tidak ingin menjadi dokter, aku
ingin menjadi guru saja karena menjadi guru itu lebih enak” dsb. Semakin tinggi
sekolah, cita-cita menjadi lebih sederhana dan disesuaikan dengan bakat dan
hobi yang dimiliki. Misalnya, ketika SMA suka dengan anak-anak kecil
sehingga ingin menjadi guru, punya hobi melukis sehingga ingin menjadi pelukis dsb. Atau,
sudah mulai berfikir logis seperti,” aku ingin menjadi guru, ingin mengajari
anak didikku agar bisa membaca dan menulis, biar dapat pahala yang terus
mengalir kalo besok akhirnya anak didikku menjadi anak yang terpelajar”. Hingga
ketika kuliah, cita-cita menjadi sangat sederhana lagi, ingin menyelesaikan
skripsi dan lulus tepat waktu, berapapun nilainya sudah tidak penting, yang penting
lulus, mengingat sulitnya kalau mau bimbingan dan banyaknya revisi. Hehehe. Tentu saja itu bercanda, untuk anak-anak
yang menempuh kuliah biasanya cita-citanya adalah setelah lulus langsung bisa
dapat kerja, apapun itu. Meskipun tidak linear dengan jurusan yang telah
dipilih sebelumnya. Yang penting dapat kerja, mengingat susahnya mencari
pekerjaan. Daripada jadi pengangguran?
Mungkin alurnya memang seperti itu, ketika
sudah dewasa semua bisa saja berubah. Yang dulu bercita-cita menjadi pelukis,
ternyata setelah lulus kuliah di terima kerja di bank. Siapa tau?? Seakan
ketika tumbuh dewasa seseorang hanya perlu berkomitmen dalam bekerja untuk mempunyai
penghidupan yang layak.
Begitupun denganku, dulu aku juga punya
cita-cita yang muluk, dan juga menjadi semakin
sederhana seiring aku bertambah dewasa. Beberapa bulan yang lalu, setelah lulus kuliah aku berencana untuk menetap di Surabaya dan
mencari kerja menjadi guru disana (karena cita-citaku ingin menjadi guru) dan
melanjutkan S2. Tapi ternyata Tuhan berencana lain, Dia mempertemukanku dengan beberapa kejadian yang
memaksaku untuk tinggal di rumah (sementara) setelah lulus
kuliah. Hingga akhirnya orang tua menghimbau agar aku tinggal di rumah saja dan
tidak usah kembali ke Surabaya. Berat? Tentu saja. Shock? Iya. Tapi akhirnya ku
turuti juga permintaan orang tuaku itu. Aku positive thinking saja bahwa ini
memang sudah waktunya aku berbakti kepada orang tua setelah 10 tahun merantau, ada banyak hal juga yang harus aku pelajari dan perbaiki di kampung halaman
agar aku menjadi lebih baik, juga dengan harapan semoga kampung halamanku menjadi
lebih baik dengan pengalaman yang aku bawa dari Surabaya.
Aku menyadari itu
semua, bahwa aku tidak melulu harus menuruti ego dan ambisiku. Cita-citaku
menjadi lebih sederhana sekarang, ingin bermanfaat di kampung halaman. Bahkan saat ini,
ketika ditanya tentang ingin melanjutkan ke S2 atau tidak, aku lebih memilih
untuk mencari pengalaman kerja dulu, meskipun cita-cita untuk melanjutkan S2
masih ada.
Begitulah, meskipun cita-cita menjadi semakin sederhana, bukan berarti kita gagal menggapai cita-cita kita, bukan berarti kita tidak kuat untuk mewujudkan cita-cita atau mimpi-mimpi kita. Tapi, kita mempertimbangkan hal-hal yang lebih bermanfaat yang ada di lingkungan sekitar kita, dan berusaha untuk membantu memperbaikinya. Bukankah sebaik-baik kita adalah yang bermanfaat untuk orang lain? Pun, ketika kita bisa membuat orang lain bahagia, kita sendiri juga akan ikut merasa bahagia. So, jangan pernah gengsi ketika kamu harus menyederhanakan cita-cita atau mimpi!! :))